PROSES PENERJEMAHAN PUISI

Back to HOME  –  ABOUT KANYA

(Termuat di Jurnal Bahasa dan Pariwisata, STBA Yapari-ABA Bandung, 2008)

ABSTRACT

To translate is one thing; to say how we do it, is another.  Translating poetry without losing its beauty maybe is the most difficult thing, because when we try to do it, we cannot just take a dictionary and  find the words we need and apply them. We need more than that. The privilege of poetry forces us to find some appropriate translation methods, i.e. methods that can help us to transfer language from the source to the target language without losing its meaning and its beauty. This article tries to prove that translating poetry without losing its beauty is not a nonsense job. We only need to ‘know how’  to do it.

 

Pendahuluan

“How can we translate a poetry? Poetry’s got its own language, hasn’t it? Translating  poetry will just make it lose its beauty. Don’t waste your time with such  nonsense…”

Pendapat di atas diajukan pada saya kurang lebih 20 tahun yang lalu oleh seorang peserta pertukaran pelajar dari Amerika. Ketika itu saya masih duduk di bangku SMA kelas 2 jurusan Ilmu-ilmu Sastra dan Budaya. Ia  mengemukakan pendapat tersebut karena melihat saya saat itu sedang kesulitan menerjemahkan sebuah puisi karya Tennyson. Teman saya tersebut bukan satu-satunya orang yang pernah berpendapat demikian. Oleh sebagian orang, puisi memang kadang-kadang dianggap sebagai sesuatu yang misterius, bahkan berdaya magis. Apalagi bila kita membaca karya-karya penyair kontemporer seperti Tragedi Winka dan Sihka, Sepisaupi, O karya Sutardji Calzoum Bachri, atau Sang Sing Song karya Ibrahim Sattah yang seakan-akan tidak memiliki batasan sama sekali, baik dalam pemilihan kata maupun bentuknya, mungkin kita memang akan berpendapat bahwa jangankan untuk menerjemahkan, untuk memahami isinya pun sangat sulit. Namun saya pikir penerjemahan bukan hak milik teks ilmiah saja.  Karya sastra, terutama puisi, pun dapat diterjemahkan asalkan kita mengetahui strategi apa yang harus digunakan.

Saya seorang penulis puisi sekaligus penikmat puisi karya orang lain. Sebagai penikmat puisi, saya tentunya selalu ingin memahami sebuah puisi dan menangkap pesan penyair sedalam mungkin. Dengan menangkap pesan penyair sedalam mungkin, saya dapat turut merasakan berbagai emosi yang dimiliki si penyair dengan baik, dan mungkin dapat pula mengambil pelajaran dan hikmah yang ingin disampaikan si penyair. Puisi-puisi yang saya baca tidak hanya puisi dengan teks asli berbahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jepang, atau bahasa asing lainnya saja, tetapi juga puisi-puisi hasil terjemahan. Puisi hasil terjemahan inilah yang kadang-kadang tidak memuaskan saya, apalagi jika sebelumnya saya telah membacanya dalam teks asli dan telah mengerti apa yang sebenarnya ingin disampaikan si penyair. Beberapa tahun yang lalu saya bahkan pernah sedikit adu argumentasi dengan teman yang sangat linguistic minded, yang mencoba menerjemahkan puisi Yashi no Mi (Buah Nyiur) karya Shimazaki Touson dengan linguistic minded-nya. Saya saat itu sangat tidak setuju dengan hasil terjemahannya karena sepanjang pengetahuan saya Yashi no Mi adalah puisi yang sangat romantis yang menceritakan kerinduan Shimazaki Touson pada kampung halamannya. Ketika saya membaca puisi aslinya, saya dapat membayangkan dan merasakan bagaimana Shimazaki sedang berbaring dan termangu di tepi pantai melamunkan kampung halamannya, dengan berbantalkan pasir dan ombak yang sesekali memecah pantai. Lalu Shimazaki melihat sebutir nyiur yang terapung-apung di tepi laut. Melihat hal itu itu, Shimazaki pun merasa dirinya seperti buah nyiur yang terlepas jauh dari pohonnya. Jauh mengembara dari tempat asalnya. Ada makna sepi dan rindu yang sangat kuat di dalamnya. Tetapi, ketika saya membaca hasil terjemahan teman saya, saya sama sekali tidak dapat merasakan keindahan apapun dalam puisi tersebut. Semuanya terasa kering.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam diri saya. Apa sebenarnya yang kita perlukan untuk dapat menerjemahkan puisi sehingga tidak kehilangan pesannya dan estetikanya? Selain penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran, adakah syarat lain yang harus dimiliki oleh seorang penerjemah puisi? Sejauhmana seorang penerjemah puisi dapat dikatakan berhasil menerjemahkan dengan baik?

Puisi dapat dikatakan sebagai karya sastra yang istimewa. Sebagai salah satu bentuk karya sastra, puisi memiliki kekhasan dalam pemilihan kata (Waluyo, 1995). Tidak seperti kata-kata dalam prosa yang bersifat deskriptif , kata-kata  dalam puisi memiliki makna yang sangat padat. Begitu padatnya makna kata dalam puisi membuat sebuah kata dalam puisi dapat memiliki bermacam-macam arti. Misalnya, kata blue dalam bahasa Inggris tidak selalu dapat kita artikan ‘biru’, melainkan kadang-kadang harus kita artikan ‘sedih’. Kondisi geografis tempat tinggal penyair dan latar belakang kehidupan penyair pun seringkali menambah padatnya makna sebuah kata dalam puisi. Misalnya, kata ‘hujan’ bagi penyair yang tinggal di daerah banjir akan dikonotasikan sebagai bencana, tetapi oleh penyair yang berasal dari daerah yang kering kerontang tentunya akan dikonotasikan sebagai anugerah Tuhan yang sangat besar.

Mengacu pada contoh-contoh kepadatan makna puisi seperti di atas, maka akan kembali timbul pertanyaan; jika kita ingin menerjemahkan kata-kata di atas ke dalam bahasa tertentu, kita harus menerjemahkannya seperti apa? Apakah kata kogarashi dapat langsung kita terjemahkan dengan kata ‘sepi’? Atau mungkin seharusnya dibiarkan saja ditulis kogarashi kemudian diberi catatan kaki? Catatan kaki mungkin biasa dilakukan dalam penerjemahan prosa (Misalnya, dalam prosa Royan Revolusi yang pernah saya lihat edisi Bahasa Perancisnya, ada kata-kata seperti Neng, Ceu, dan sebagainya. Dalam terjemahan itu kata-kata tersebut dibiarkan begitu saja. Tetapi di halaman bagian bawah diberi keterangan yang jelas tentang arti panggilan-panggilan tersebut), tetapi apakah dalam penerjemahan puisi juga bisa dilakukan seperti itu?

Masalah penerjemahan puisi seperti inilah yang akan diangkat dalam tulisan ini.

 

Proses Penerjemahan

Proses Penerjemahan Secara Umum

Keterampilan membaca dan menulis dengan baik merupakan syarat penting bagi penerjemah. Seorang penerjemah dituntut untuk menguasai bahasa sumber (paling sedikit dia memiliki keterampilan membaca), dan menguasai bahasa sasaran (khususnya keterampilan menulis).  Keterampilan pertama dimaksudkan untuk memahami teks-teks tertentu yang mungkin mempunyai ragam yang berbeda-beda. Dengan sendirinya, penerjemah perlu mengetahui antara lain aspek struktur, kosa kata, makna bahasa sumber serta pengetahuan tentang bidang (isi teks) sesuai dengan ragamnya. Keterampilan kedua diperlukan untuk mengungkapkan kembali dalam bahasa sasaran dengan gaya yang alami dan sedekat mungkin. Untuk maksud ini, diperlukan antara lain pengetahuan tentang cara-cara menerjemahkan baik secara eksplisit maupun implisit. Secara ekplisit, penerjemah  melalui proses belajar teori dan secara implisit melalui pengalaman (praktek) penerjemahan sendiri. Kedua hal tersebut dapat dianggap sebagai prasyarat  bagi penerjemah.

Menurut Barnwell, secara garis besar, kegiatan menerjemahkan terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama adalah memahami teks bahasa sumber dan tahap kedua mengungkapkan pesan itu ke dalam bahasa sasaran (Barnwell, 1984: 14).

Langkah awal yang ditempuh penerjemah adalah menemukan makna dalam bahasa sumber. Menemukan makna merupakan keterampilan tersendiri yang perlu dikembangkan oleh seorang penerjemah. Keterampilan memahami teks akan menjadi baik apabila didukung oleh pengetahuan tentang kebahasaan yang mencakup antara lain kosa kata (morfologi), struktur (sintaksis), bahasa sumber, serta pengalaman membaca yang banyak. Langkah selanjutnya adalah pengungkapan kembali pesan (pengalihbahasaan) yang dilakukan dengan cara atau teknik tertentu. Dalam pengungkapan kembali pesan, yang menjadi prioritas utama adalah makna, dan kemudian bentuk atau gaya bahasa. Untuk mendapatkan padanan alami atau wajar yang sedekat mungkin, penerjemah dapat menggunakan teknik penerjemahan yang disarankan oleh Catford (1969).

Menurut Catford, teknik penerjemahan meliputi tiga jenis yaitu (1) penerjemahan kata-per-kata atau word to word translation, (2) penerjemahan literal atau literal translation, dan ( 3) penerjemahan bebas atau free translation.

Dalam penerjemahan jenis pertama, hampir setiap kata dalam bahasa sumber dapat langsung digantikan dengan kata padanannya dalam bahasa sasaran. Sebagai contoh dalam bahasa Jepang; Watashi wa Rayhan desu. (Saya Rayhan), atau contoh dalam Bahasa Inggris; I will go to Italy next month (Saya akan pergi ke Italia bulan depan). Namun demikian, tidak semua kalimat dapat diterjemahkan demikian. Kalimat lain mungkin harus diterjemahkan dengan cara lain. Contoh; Kono akai kaban wa Rina-san no desu (tas merah ini milik Rina), dan I have three white cats (Saya mempunyai tiga ekor kucing berwarna putih).  Ini termasuk jenis penerjemahan kedua, literal translation. Dalam penerjemahan ini perlu ada penyesuaian dengan kaidah-kaidah dalam bahasa Indonesia. Penyesuaian itu misalnya hukum DM dalam bahasa Indonesia (Tas merah, kucing berwarna putih) dan MD dalam bahasa Jepang dan Inggris (Akai Kaban, White Cats).

Dalam suatu wacana dapat terdiri dari ungkapan-ungkapan (frase atau kalimat) yang sederhana dan yang kompleks. Sejumlah kalimat dapat diterjemahkan secara kata-demi kata. Sejumlah kalimat dapat juga diterjemahkan dengan literal dan sejumlah yang lain, seperti ungkapan idiomatic, diterjemahkan dengan bebas. Jadi dalam menerjemahkan suatu teks, penerjemah dapat menggunakan ketiga teknik ini secara bergantian, sesuai dengan tingkat kesukaran atau kemudahan penerjemahan kata, frase, atau kalimat dalam teks tersebut.

Menurut pendapat Barnwell dalam Suryawinata (2003), baik tidaknya atau tepat tidaknya hasil terjemahan tergantung pada tiga komponen yaitu accuracy, clarity, dan naturalness. Accuracy atau ketepatan artinya pemahaman pesan bahasa sumber yang tepat dan pengalih makna pesan setepat mungkin dalam bahasa sasaran. Clarity atau kejelasan artinya terdapat beberapa cara pengungkapan suatu gagasan dengan jelas. Naturalness atau kewajaran artinya hasil terjemahan itu efektif dan tingkat keberterimaannya tinggi. Terjemahan hendaknya tidak terasa kering atau terdengar ganjil. Penerjemah hendaknya berusaha keras untuk mendapatkan padanan yang sebaik mungkin dengan mempertimbangkan  kriteria di atas. Namun demikian, ini bukan merupakan suatu tugas yang mudah. Apabila sulit untuk mengkompromikan ketiga aspek tersebut, perhatian dapat lebih diutamakan pada aspek kecermatan. Untuk memperoleh kecermatan, diperlukan pemahaman terhadap bahasa sasaran yang baik dan benar. Baik dalam arti sesuai dengan budaya bahasa sasaran, dan benar dalam arti sesuai dengan gramatikal dan ejaan yang disempurnakan.

Dalam proses penerjemahan suatu wacana, terlebih dahulu penerjemah perlu membacanya untuk memahami isi secara keseluruhan. Selanjutnya ia perlu menganalisa bentuk wacana dengan memperhatikan unsur-unsur pembentuk wacana itu seperti paragraf, kalimat, klausa, dan kata-kata yang digunakan. Dalam prakteknya, penerjemah cenderung memulai dari unsur yang lebih kecil seperti klausa, frasa atau kata.

 

 Proses Penerjemahan Karya Sastra

Terjemahan dalam karya sastra memiliki ragam dan jenis yang berbeda jika dibandingkan dengan terjemahan dalam teks ilmiah. Penerjemah dalam karya sastra, disamping harus menguasai bahasa sumber, bahasa sasaran, bidang ilmu yang sedang diterjemahkan, teori terjemahan, juga dituntut untuk menguasai hal lain yang berkaitan dengan ilmu sastra. Ilmu sastra tersebut dapat berupa pemahaman latar belakang pengarang, gaya bahasa, mood, aspek-aspek yang ada dalam karya, gaya atau style pengarang karya sastra dalam menuangkan isi ceriteranya, dan lain-lain. Dengan memperhatikan beberapa hal tersebut, diharapkan hasil terjemahan karya sastra tidak terasa kering.

 

Syarat-syarat Penerjemahan Karya Sastra

Menurut Savory (1969), fungsi dan tujuan terjemahan adalah untuk menjembatani perbedaan ruang dan waktu. Yang pertama memindahkan makna dan pesan dari Bahasa Sumber (Bsu) ke dalam Bahasa Sasaran (Bsa). Kemungkinan yang kedua adalah memindahkan makna dan pesan dari satu kurun waktu tertentu ke waktu lain yang berbeda. Sebagai contoh menerjemahkan sebuah bahasa Inggris kuno (seperti yang sering dipakai dalam karya-karya Shakespeare) ke dalam bahasa Inggris modern. Karena kekhususan tugasnya, diperlukan syarat khusus bagi penerjemah karya sastra.

Nida (1975) dan Savory (1969) menyatakan bahwa penerjemah karya sastra perlu memiliki syarat-syarat sebagai berikut:

v     Memahami dan menguasai bahasa sumber

v     Menguasai dan mampu memakai Bsa dengan baik, benar dan efektif

v     Mengetahui dan memahami sastra, apresiasi sastra, serta teori terjemahan

v     Mempunyai kepekaan terhadap karya sastra yang tinggi

v     Memiliki keluwesan kognitif, dan keluwesan sosiokultural

v     Memiliki keuletan dan motivasi yang kuat.

Karya sastra lebih mengandung unsur ekspresi pengarang atau penyair dan kesan khusus yang ingin ditimbulkan tehadap para pembaca. Karya sastra juga mengandung unsur-unsur emosional, efek keindahan kata dan ungkapan, efek keindahan bunyi, dengan segala nuansa yang mengiringinya yang disebut fungsi estetik.

Berikut saya ingin mengutip sebuah paragraf dari salah satu cerpen saya yang pernah dimuat di sebuah jurnal di London:

“It was a very beautiful summer. The night was silvery. The moon flooded the moistened leaves in the garden with its pure and white light. The fireflies, here and there, flew through the sky, glittering and sparkling like jewels. Frogs in the pond were singing with their husky but sweet voice and the starry sky gave such a golden moment to the earth. The image of the garden was really like heaven…..” (Kanya: The Soul of Innocent, 2008)

Kutipan di atas menggambarkan sebuah keindahan malam yang hanya bisa didapatkan dan dirasakan oleh seseorang yang memahami suasana malam di negara empat musim. Pemindahan makna dan pesan ‘keindahan malam’ tersebut ke dalam Bahasa Indonesia mungkin akan sukar jika si penerjemah karya sastra tidak mempunyai pengetahuan yang luas dan pemahaman yang mendalam tentang latar belakang sosiokultural dari Bsu.

Savory (1969) menyebutkan tingkat pemahaman ini sebagai pemahaman yang kritis, artinya penerjemah sedapat mungkin memahami teks dalam bahasa sumber dari segala segi dan aspeknya.

Singkatnya, seorang penerjemah karya sastra bukan saja memerlukan  kemampuan kreatif mengolah  bahasa itu agar padanan yang didapatkan benar-benar sesuai, melainkan juga harus memiliki kemampuan untuk memahami dan mengapresiasi suatu karya sastra karena menerjemahkan karya sastra merupakan usaha untuk menjembatani dua kultur yang berbeda, dengan dua bahasa yang berbeda pula.

Kenyataan ini pada akhirnya menunjukkan bahwa penerjemahan karya sastra yang ‘sempurna’ mungkin hanya dapat dilakukan oleh penerjemah yang sekaligus juga sastrawan kreatif.

 

Menerjemahkan Puisi

Menurut Peter Newmark (1981), masalah-masalah yang menghadang penerjemah dalam menerjemahkan karya sastra adalah pengaruh budaya sumber dan pesan moral yang ingin disampaikan oleh penyair aslinya. Dalam hal pengaruh budaya BSa, kesulitan ini dapat berupa aturan-aturan BSu, gaya bahasa, latar, dan tema. Dalam hal pesan moral, penerjemah dapat menemukan kesulitaan dalam ciri-ciri khas pengarang. Menerjemahkan cerpen atau novel cenderung lebih mudah dari pada menerjemahkan puisi. Hal ini disebabkan karena kata-kata yang digunakan dalam prosa tidak sepadat dan sehemat dalam puisi. Tidak seperti puisi, keindahan dalam sebuah cerpen atau novel tidak begitu tergantung pada pilihan kata, rima, dan irama, tetapi lebih terletak pada alur ceritera dan pengembangan tokoh-tokoh yang ada di dalam ceritera itu.

Menurut Fuad Hasan, terjemahan adalah suatu proses mengalihkan “suasana batin” dari pengarang dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Penerjemah karya sastra sarat dengan dengan suasana sentimental (Fuad Hasan, 2001). Dengan memiliki perasaan sentimental, penerjemah akan memiliki kemampuan untuk mengalihkan bukan saja bahasa, bahan atau materi, budaya, tetapi juga perasaan, suasana batin pengarang.

Menerjemahkan puisi sangat memerlukan kemampuan untuk  mengalihkan suasana batin ini. Sehingga, pesan yang disampaikan si penyair akan sampai kepada penikmat puisi dengan baik.

 

Aturan Umum Menerjemahkan Puisi

Hilaire Belloc seperti yang dikutip oleh Basnett McGuire (1980) menyebutkan beberapa aturan umum dalam menerjemahkan karya sastra (terutama puisi):

  1. Penerjemah hendaknya tidak menentukan langkahnya hanya untuk menerjemahkan kata per kata atau kalimat per kalimat saja. Ia harus selalu mempertimbangkan keseluruhan karya, baik karya aslinya maupun karya terjemahannya. Penerjemah harus menganggap naskah aslinya sebagai satu kesatuan unit yang integral, meskipun pada saat menerjemahkan, ia mengerjakan bagian per bagian saja. Dalam terjemahan puisi, penerjemah dapat membagi puisi menjadi unit-unit terjemahan dalam baris-baris, atau membaginya menjadi bait-bait.
  2. Penerjemah hendaknya menerjemahkan idiom menjadi idiom pula. Idiom dalam BSu hendaknya dicari padanannya dalam idiom BSa, meskipun kata-kata yang dipergunakan tidak sama persis. Misalnya, idiom kambing hitam dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan “scape goat” dalam bahasa Inggris. Apabila betul-betul tidak ada padanannya, barulah idiom itu bisa diterjemahkan tanpa menghilangkan makna batinnya.
  3. Penerjemah hendaknya menerjemahkan maksud menjadi maksud juga. Kata maksud menurut Belloc berarti muatan emosi atau perasaan yang dikandung oleh ekspresi tertentu. Muatan emosi dalam ekspresi BSu-nya bisa saja lebih kuat dari pada muatan emosi dari padanannya dalam BSa. Sebaliknya, ekspresi tertentu terasa lebih pas dalam BSu, tetapi menjadi janggal dalam BSa, apabila diterjemahkan secara literal. Sebagai ilustrasi, saya mengambil contoh suatu situasi  dalam sebuah film, yaitu ada seseorang yang terus menerus membicarakan orang lain. Akhirnya temannya berkata dalam bahasa Jepang, “Yamete”. Terjemahan itu akan terdengar agak lucu dan canggung apabila diterjemahkan menjadi “Berhenti”. Saya pikir dalam karya sastra akan lebih baik kalau ekspresi itu diterjemahkan menjadi “Sudahlah”.
  4. Penerjemah hendaknya berani mengubah hal-hal yang perlu diubah dari BSu ke dalam BSa dengan tegas. Belloc mengatakan bahwa inti kegiatan menerjemahkan puisi adalah kebangkitan kembali “jiwa asing” dalam tubuh pribumi. Yang dimaksud dengan jiwa asing dalam tubuh pribumi adalah makna ceritera dalam BSu, sedangkan tubuh pribumi ini adalah bahasa sasarannya (BSa).
  5. Meskipun penerjemah dapat mengubah apa yang perlu diubah, tetapi pada langkah keenam, Belloc (dalam Basnett McGuire, 1980) mengatakan bahwa, penerjemah tidak boleh membubuhi teks aslinya dengan hiasan-hiasan yang terlalu banyak yang dapat membuat teks dalam BSa itu lebih buruk atau lebih indah sekalipun. Tugas penerjemah adalah menghidupkan kembali jiwa asing tadi, bukan mempercantik, apalagi memperburuknya.

Dari prinsip-prinsip utama di atas, Belloc ingin menekankan bahwa para penerjemah karya sastra (khususnya puisi) perlu mempertimbangkan bahwa naskah merupakan satu keseluruhan yang tak terpisahkan. Belloc juga mengakui bahwa ada kewajiban moral bagi para penerjemah untuk setia pada naskah aslinya. Selain itu, penerjemah juga punya hak untuk menambah atau mengurangi kata-kata dalam naskah asli dalam proses penerjemahan agar hasilnya sesuai dengan aturan-aturan idiomatis dan gaya bahasa Bsa. Dengan demikian jelas bahwa, dalam penerjemahan puisi, penerjemah hendaknya mementingkan makna atau pesan, baru kemudian gaya. Pendapat ini sangat sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Nida dan Taber.

Pendeknya, sangat ideal apabila antara pesan dan gaya dapat hadir secara bersamaan. Artinya bahwa penerjemah mampu menghadirkan keduanya, pesan dan gaya  dalam bahasa sasaran secara bersamaan. Dalam penerjemahan sebuah karya, keduanya memegang peran yang sama pentingnya. Sebuah karya sastra, apalagi puisi tanpa gaya akan terasa kering bahasanya. Begitu sebaliknya, karya sastra tanpa pesan akan tidak bermakna.

 

Praktek Penerjemahan Puisi

Setelah mengemukakan sekian banyak teori, mungkin ada baiknya jika saya ‘mengajak’ anda langsung berpraktek menerjemahkan puisi. Puisi yang akan kita terjemahkan adalah Kanashiki Gangu karya Ishikawa Takuboku. Kanashiki Gangu terdiri dari 194 bait, dan tentunya akan menjadi sebuah tantangan yang sangat menarik untuk menerjemahkan semuanya. Tetapi karena keterbatasan tempat, (mohon maaf) saya hanya akan membahas lima bait saja; hanya untuk menunjukkan bagaimana seharusnya penerjemahan puisi itu berproses.


 

悲しき玩具

(Kanashiki Gangu)

石川啄木

(Ishikawa Takuboku)

呼吸すれば、

胸の中にて鳴る音あり。

凩よりもさびしきその音!

(Iki sureba,

Mune no uchi nite naru oto ari.

Kogarashi yorimo sabishiku sono oto!)

眼閉づれど

心にうかぶ何もなし。

さびしくもまた眼をあけるかな

(Me tozuredo

Kokoro ni ukabu nani mo nashi.

Sabishiku mo mata me o akeru kana)

途中にてふと氣が變り、

つとめ先を休み手、今日も

河岸をさまよへり。

(Tochū nite futo ki ga kawari ,

Tsutomesaki o yasumite, kefu mo

Kashi o samayoeri.)

咽喉がかわき、

まだ起きてゐる果物屋を探しに行きぬ。

秋の夜ふけに。

(Nodo ga kawaki,

Mada okite iru kudamonoya o sagashi ni yukinu.

Aki no yofuke ni)

遊びに出て子供かへらず、

取り出して

走らせて見る玩具の機關車

(Asobi ni dete kodomo kaerazu.

Toridashite

Hashirasete miru omocha no kikuwansha)

……………………………………………………..

Pertama kali yang harus dilakukan terhadap bait-bait puisi ini adalah, mengkajinya kalimat per kalimat. Pada tahap ini, peran pengetahuan penerjemah tentang ilmu tata bahasa dasar sangat diperlukan. Penerjemah harus jeli pada bentukan-bentukan kata yang mungkin agak berbeda dengan tata bahasa yang berlaku saat ini. Misalnya, pada bait ketiga kita menemukan kata yasumite. Bentukan ini tidak biasa digunakan dalam tata bahasa yang berlaku saat ini. Yang biasa digunakan saat ini adalah kata yasunde.

Setelah menemukan bentukan-bentukan yang khusus, selanjutnya cobalah menerjemahkannya secara literal translation; maka bait pertama dan kedua dapat kita artikan sebagai berikut:

  1. Kalau aku bernafas/ada suara di dalam dada/ suara itu lebih sepi daripada angin musim dingin.
  2. Walaupun saya menutup mata/Tidak ada apapun di dalam hati/Sepi pun kembali membuka mata.

Setelah anda mendapat ‘terjemahan’ dari kalimat-kalimat tersebut, apakah proses penerjemahan hanya berakhir sampai di situ? Jika terjemahan tersebut diperuntukkan untuk sebuah karya tulis yang bukan karya sastra, mungkin proses bisa dihentikan sampai di situ saja. Tetapi untuk sebuah karya sastra (terutama puisi), apa yang kita dapatkan dari hasil terjemahan tersebut? Menurut anda, sudah pantaskah hasil terjemahan tersebut di sebut puisi? Sampaikah pesan dan suasana batin yang diungkapkan pengarang? Menurut saya, dari hasil terjemahan di atas kita hanya mendapatkan arti puisi tanpa jiwa. Hanya kumpulan kata tanpa emosi. Sangat kering, bahkan cenderung terdengar menggelikan.  Lalu bagaimana caranya agar jiwa puisi Takuboku dapat kembali tertuang dalam terjemahannya?

Untuk bait pertama sampai dengan kelima tersebut, saya mencoba ‘menggali’ jiwa bait puisi itu dengan mempelajari seluruh sejarah kehidupan Takuboku. Memang, hal ini adalah sebuah tugas yang cukup berat, tetapi dari sejarah kehidupannya itulah, saya dapat mengetahui bahwa Takuboku mengidap Tuberculosis yang cukup parah. Dari kenyataan ini dan kemudian digabungkan dengan sedikit pengetahuan tentang ilmu kedokteran, saya akhirnya dapat memahami bahwa ‘suara dalam dada’ yang didengar Takuboku setiap kali dia bernafas adalah suara yang memang biasa ditimbulkan oleh penderita Tuberculosis setiap kali bernafas. Dengan kata lain, kalimat pertama dan kedua pada bait kesatu memang memiliki pengertian yang harfiah. Sehingga, untuk kalimat-kalimat tersebut, yang diperlukan hanyalah ‘penghalusan’ gaya bahasa agar terdengar lebih puitis.

Suasana batin yang sangat mendalam terdapat pada kalimat ketiga bait kesatu, yang diwakili oleh kata kogarashi. Kogarashi adalah angin kencang yang sangat dingin yang berhembus pada musim dingin. Di negara empat musim, musim dingin biasanya diidentikkan dengan perasaan sepi, mencekam, penuh duka, dan sebagainya. Para penyair Jepang biasa memakai kata ini untuk mengungkapkan perasaan kesepian. Namun bagi Ishikawa (Shinoda, 2000), kata tersebut bukan berarti kesepian seperti layaknya orang yang tidak memiliki pendamping atau kehilangan anak, istri, atau teman, melainkan untuk melukiskan penderitaannya karena mengidap  tuberkulosis, yang saat itu merupakan penyakit yang masih sangat sulit disembuhkan. Setiap orang yang memiliki penyakit tak tersembuhkan, pasti memiliki kesepian seperti ini. Kesepian yang lebih sepi daripada sekedar kehilangan saudara atau teman; kesepian yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang bernasib sama.

Pada bait kedua kalimat pertama, Takuboku menggunakan gaya bahasa puisi Jepang me tozuredo. Dalam bahasa sehari-hari me  tozuredo berarti me o tojita ga atau me o tojita keredomo (=walaupun saya menutup mata). Menutup mata biasa dilakukan oleh seorang penulis/penyair untuk mengimajinasikan dan merasakan luapan emosi dari dalam diri untuk kemudian dituangkan ke dalam karyanya. Namun pada saat itu, di benaknya sama sekali tak terlintas apapun. Takuboku seolah kehabisan ide. Bagi penulis/penyair, kehabisan ide dapat menyebabkan kekecewaan yang sangat besar. Kekecewaan tersebut Takuboku ungkapkan kembali dengan pemakaian kata sepi (sabishiku).

Pemilihan kata pada bait ketiga, nampaknya berhubungan dengan kebiasaan Takuboku yang menyusuri Sungai Sumida di Tokyo setiap kali merasa memiliki tekanan jiwa. Kesulitan hidup membuatnya ingin beristirahat (yasumasite) dari semua kesulitan itu, dan melepaskan semua ketegangannya dengan berjalan menyusuri sungai  (Kashi o samayoeri).

Bait keempat merupakan bait yang memiliki pengertian unik. Pada bait keempat dikatakan bahwa Takuboku mencari penjual buah-buahan yang masih terjaga pada larut malam untuk memuaskan dahaganya. Secara logika, jika Takuboku haus, tentunya akan lebih mudah jika dia minum air saja di rumahnya. Tetapi Takuboku lebih memilih untuk keluar rumah dan mencari penjual buah-buahan yang masih berjualan di larut malam. Pada masa itu, tidak ada penjual buah-buahan yang berjualan sampai larut malam. Dengan kata lain, Takuboku melakukan hal yang sangat tidak masuk akal untuk zaman itu. Berdasarkan pemikiran tersebut, bait ini menurut saya mengandung makna keputusasaan mendalam yang dirasakan Takuboku.

Bait kelima menceritakan tentang Takuboku yang bermain sendirian dengan mainan lokomotif karena anaknya belum pulang dari bermain. Dari biografinya, saya menemukan fakta bahwa Takuboku pernah membelikan sebuah mainan lokomotif untuk anak laki-lakinya yang tidak berumur panjang. Kenyataan ini memberikan penjelasan pada kita bahwa Takuboku menuliskan bait seperti ini untuk mengungkapkan kesepian hatinya dengan pelambangan perasaan Takuboku ketika ditinggalkan seorang anak untuk selama-lamanya.

Setelah mengkaji bukan hanya dari kaidah tata bahasa saja, melainkan juga kita juga mengkajinya secara mendalam melalui sejarah, budaya, latar belakang, dan mood si penyair, kita dapat mengambil sedikit kesimpulan bahwa puisi Kanashiki Gangu bercerita tentang kesedihan, kesulitan, kesepian, kekecewaan, dan keputusasaan. Pemahaman kita akan jiwa puisi Takuboku inilah yang akan membantu kita untuk memilih kata, dan gaya bahasa penerjemahan.

Setelah dibekali cukup banyak pengetahuan tentang suasana batin yang terkandung dalam puisi Takuboku, Kanashiki Gangu, dengan digabung dengan rasa seni yang kita miliki, maka kita dapat menerjemahkannya sebagai berikut:

 

PERMAINAN LARA

Kala kuhela napasku,

Ada satu suara dalam dada.

Yang melebihi sepinya angin yang telah mati!

Walau kututup mataku,

Namun tak satu pun yang terlintas dalam benak.

Mungkin hanya kesepian yang kembali

membuka mataku

Keinginan sesaat t’lah menggangguku di perjalanan,

Dan sekali lagi aku beristirahat

‘tuk menjelajah tepian sungai

Dahagaku memanggang ,

Kala kucari penjual buah-buahan yang masih terjaga

Di suatu malam yang larut di musim gugur.

Anakku belum lagi pulang bermain; entah di mana.

Maka kukeluarkan mainan kereta api itu

lalu kumainkan sendiri

(Ishikawa Takuboku)

Hasilnya penerjemahan di atas tentunya sangat berbeda ‘rasa bahasanya’ dengan penerjemahan yang hanya menggunakan teori terjemahan umum, bukan?

 

Simpulan

Penerjemahan karya sastra memiliki kerumitan berbeda jika dibandingkan dengan penerjemahan teks ilmiah. Penerjemah karya sastra disamping harus menguasai bahasa sumber, bahasa sasaran, bidang ilmu yang sedang diterjemahkan, ia juga dituntut harus menguasai hal lain yang berkaitan dengan sastra. Ilmu sastra tersebut dapat berupa pemahaman latar belakang hidup pengarang, gaya bahasa, mood, dan gaya atau style pengarang karya sastra dalam menuangkan pikiran dan perasaannya.

Tidak ada satu prosedur baku untuk menerjemahkan sebuah karya sastra, khususnya puisi. Yang dapat ditawarkan hanyalah metode-metode atau strategi-strategi yang fungsinya mempermudah kegiatan penerjemahan. Tetapi, seorang penerjemah puisi paling tidak harus dapat memindahkan suasana batin dari teks asli ke teks terjemahan, menghidupkan jiwa asing dalam bahasa pribumi, sehingga keberterimaannya dalam bahasa sasaran sangat tinggi, dan dapat dinikmati oleh penikmat sastra seolah karya tersebut bukan hasil terjemahan. Ini sebuah pekerjaan yang cukup sulit bagi penerjemah, yang akan melibatkan kemampuan linguistik, kemampuan kreatif, dan kemampuan seninya.

(Karya ini ditulis sebagai rasa terima kasih saya kepada alm. Prof. Dr. Chaedar Alwasilah, dosen S-2 Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, yang (beberapa tahun yang lalu) pernah ‘menyemangati’  saya untuk mempublikasikan tulisan saya ke media massa, dan secara tidak langsung telah membuat saya begitu yakin bahwa ‘berkiprah’ lewat tulisan hingga ke luar negeri itu bukan mustahil…..

I made it!

R. A. Kanya Varistha Devi Puspokusumo, Mantan Staf Pengajar Bahasa Jepang di STBA Yapari ABA-Bandung tahun 1996-2006. Juga menekuni bidang Kajian Filsafat, Budaya, dan Pendidikan sejak tahun 1994 hingga sekarang. Saat ini aktif sebagai penulis dan penerjemah bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis di berbagai media di dalam dan luar negeri.

9 Responses to “PROSES PENERJEMAHAN PUISI”

  1. HANDRAWAN NADESUL Says:

    Devi, salam kenal.
    Saya tertarik dengan pendapat dan pandangan Anda soal menerjemahkan puisi. Saya memerlukan untuk berbicara dengan Anda sehubungan saya ingin menerjemahkan puisi Valentine saya dalam waktu dekat ini.
    Bila tidak keberatan bolehkah saya mendapatkan alamat HP atau apa saja untuk dapat menghubungi Anda.
    Terima kasih,
    Salam,

    Handrawan Nadesul
    Metro Alam I SE 24 Jakarta 12310
    Hp 08161105081

    Like

  2. Enlightening…

    Like

  3. Tolong bantu saya menerjemahkan puisi ini dong “Alunan suara yang kau keluarkan dari setiap perkataanmu, itulah yang selalu terngiang untuk mengucapkan namamu dihadapan para burung yang selalu ceria mencerca disetiap canda dan tawanya
    Mata itu mata yang sangat bernyawa tiap kali aku memandangnya
    Semua itu hanya aku yang merasakannya, tapi kadang hati mempunyai jawaban sendiri
    Entahlah hati kecilku ini akan menjawab apa atas semua sikapmu
    Yang jelas apapun yang aku rasakan atau apapun yang hati kecilku rasakan, aku ingin kau tetap menjadi dirimu yang seperti sekarang ini”. Terimakasih 🙂

    Like

  4. A reblogué ceci sur Editrice. Tradutrice. Et cetera.et a ajouté:
    Tulisan yang berfaedah lagi sangat enak dibaca:)

    Like

  5. lya wahyu Says:

    bisakah saya meminta link untuk mendownload jurnal diatas?

    Like

    • Kanya Puspokusumo Says:

      Mohon maaf, saya tidak punya link-nya. Saya hanya punya jurnal sebagai bukti terbitnya saja. Lagipula, ini tulisan 9-10 tahun lalu, pada saat itu tidak semua penerbit jurnal punya link internet yang bisa diakses.
      Hmmm… muungkin Anda bisa menanyakan langsung ke penerbit jurnalnya di http://stbayapariaba.ac.id/
      Siapa tahu sekarang mereka punya link yang bisa di-share.
      Terima kasih sudah berkunjung.
      Keep visiting! ^^

      Like

  6. yushli muslim Says:

    tulisan yang sangat menarik ibu devi, saya minta izin untuk share terjemahan puisi di atas di fb saya @yushlim mariachi atas nama ibu tentunya

    Like

Leave a comment