AKU DAN DIANDRA

Back to HOME  –  ABOUT KANYA

Aku menyayangi dan sangat membutuhkan Diandra. Namun aku baru menyadarinya setelah aku mati. Dahulu duniaku terlalu disibukkan oleh keriaan semu seorang perjaka yang begitu sombong karena merasa bisa mendapatkan semua yang diinginkannya dengan mudah. Uang, pekerjaan, dan puluhan wanita cantik yang memujaku. Diandra, begitulah aku memanggilnya, tak pernah masuk hitunganku karena bagiku penampilannya terlalu sederhana. Menurutku, dia tak cocok untukku yang sempurna. Sebenarnya Diandra masih muda, usianya tak begitu berbeda denganku. Tapi wajahnya tak begitu cantik, sakit-sakitan, kakinya setengah pincang akibat penyakitnya, dan statusnya pun mengganggu kenyamananku sebagai laki-laki single: dia seorang janda muda beranak satu, suaminya meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang. Pendeknya, Diandra bagiku benar-benar tak sebanding denganku.

Kemampuan indra keenamnya pun membuat Diandra menjadi semakin aneh di mataku. Aku tak suka dan aku tak percaya. Aku tak percaya dia mampu melihat makhluk-makhluk yang tak kasat mata, aku tak percaya dia mampu berkomunikasi dengan makhluk halus, aku pun tak percaya dia mampu melihat masa depan seperti Nostradamus. Aku pernah membentaknya karena keanehannya ini. Saat itu dia tak menangis, sebaliknya dia malah tersenyum mendengar semua bentakanku, namun aku tahu bahwa hatinya sangat terluka dengan semua kata-kataku itu. Tapi aku tak peduli, karena saat itu bagiku perasaan Diandra tak cukup berharga untuk kujaga.

Diandra selalu kuperlakukan seenakku sendiri. Menurutku, aku boleh mengoyak harga dirinya sesukaku, namun jika dia tak sengaja menyinggung harga diriku, maka aku akan bersikap dan berkata-kata apapun yang membuat dia merasa sangat bersalah. Aku tahu, dia paling tak tahan dengan perasaan bersalah. Dia tak pernah mau menyakiti orang lain. Keadaan inilah yang kumanfaatkan sebagai cara untuk menyakitinya lebih dalam lagi. Semua itu sengaja kulakukan agar Diandra menyingkir dari kehidupanku. Aku tak suka dia ada di sekitarku, walaupun sebenarnya Tuhan sendirilah yang menginginkan dia ada di dekatku, untuk membimbingku di jalanNya (namun lagi-lagi aku baru menyadari hal ini setelah aku mati…).

Aku pun tak suka jika Diandra mulai menasehatiku tentang pentingnya berjalan lurus di jalan Tuhan. Aku kesal mendengar semua nasehatnya karena kupikir semua nasehat itu sudah kuketahui semuanya (walaupun dalam hidupku aku memang belum benar-benar melaksanakannya, masih banyak ajaran agama yang kulanggar hanya untuk kesenangan diri). Kadang-kadang (jika aku sedang punya waktu), aku memang seolah mendengarkan semua nasehatnya, namun setelah Diandra selesai berbicara, semua yang dikatakan Diandra kuhapus begitu saja dari kepalaku. Kemudian aku pun kembali ke kehidupanku yang penuh keriaan semu. Bahkan bukan sekali dua kali aku melanggar semua nasehat Diandra, hanya untuk membuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku tak sudi dinasehati olehnya…. Aku kadang-kadang melakukan nasehat apapun dari orang lain, namun aku tak mau menuruti nasehat dari Diandra (walaupun nuraniku pun seringkali mengakui bahwa nasehat Diandralah yang lebih benar menurut Tuhan daripada nasehat orang lain itu).

Truk yang menyeretku sejauh 10 meter itulah yang menyadarkanku akan kebenaran semua kata-kata dan nasehat Diandra. Namun sebuah kesadaran yang hakiki seringkali baru datang setelah semuanya terlambat…. Aku keburu mati…..

***

Senja semakin merangkak menuju malam, kurasakan jiwaku melayang ringan di ketinggian, lalu kulihat tubuhku sendiri terkapar di jalan raya yang mulai gelap. Tubuhku bersimbah darah dengan otak yang terburai di jalan raya. Kulihat keadaan semakin lama semakin ramai oleh orang-orang yang mengerumuni tubuhku. Ada yang memandang tubuhku dengan perasaan ngeri, terkejut, prihatin, dan sebagainya.

“Ya Allah, kenapa sih dia?” tanya seorang perempuan sambil berteriak setengah histeris

“Aku melihatnya tertabrak truk, dia dan motornya masuk dan menyangkut di bawah truk, lau dia terseret 10 meter, dan hiii….” jawab seseorang dengan nada ngeri dan setengah bergidik

“Coba lihat sakunya, mungkin ada identitasnya. Siapa tahu ada pula nomor telepon kerabat atau teman yang bisa dihubungi…” kata seseorang dalam kerumunan.

“Ih, kau saja yang melakukannya. Aku ngeri.” jawab yang lain

“Koran…koran…. ada yang punya koran? Kita tutupi dulu jenazah ini dengan koran sampai ambulans datang!” kata seorang bapak setengah baya

“Tapi bagaimana dengan otaknya yang terburai dan tercecer bermeter-meter itu?! Bukankah kita sebaiknya mencoba mengumpulkannya dulu?” seru seorang anak muda dengan wajah penuh kengerian.

“Biar aku yang melakukannya.” kata seorang laki-laki berusia sekitar 30-an dengan kaos putih dan jeans biru.

Laki-laki itu kemudian dengan hati-hati mengerok darah dan otakku yang berceceran di jalan raya. Dia pun memungut sebelah bola mataku yang setengah hancur dan terlempar sejauh dua meter dari kepalaku. Dia kemudian memasukkan semuanya ke dalam kantung plastik hitam kusut bekas belanjaan, dan menaruhnya di dekat tubuhku yang bersimbah darah. Dia kemudian berkata,

“Hanya ini yang bisa kulakukan, tak bisa semuanya kukumpulkan. Ada yang sudah menempel di aspal. Tapi lumayanlah. Kita berdoa saja mudah-mudahan dia tak penasaran.” katanya pada seorang temannya.

“Hus! Kau ini! Jangan seenaknya bicara. Dia pasti masih ada di sekitar sini. Dia pasti bisa mendengar kata-katamu.” kata temannya sambil bergidik.

“Fabian, di KTP ini tertulis namanya Fabian. Dan ini ada beberapa nomor telepon di dompetnya. Mana yang harus dihubungi?” seru seseorang dalam kerumunan

“Yang mana sajalah. Yang penting ada yang bisa dihubungi.” seru seseorang yang lain dengan nada kesal.

Melihat semua keriuhan itu, pada awalnya aku merasa bingung. Namun sebuah tepukan pelan di bahuku oleh sosok berjubah hitam telah menyadarkan aku atas apa yang telah terjadi: Aku telah mati….. Kesadaran itu kemudian muncul bersama sebuah kesadaran akan perasaan takut yang tak terjabarkan: Aku belum siap untuk mati!

Tetapi sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, sosok berjubah hitam itu kemudian menyeretku menuju lorong-lorong yang tak kukenal. Aku berontak sekuat tenagaku, aku berteriak dan memohon sosok itu agar jangan membawaku, namun semua itu sia-sia. Sosok itu tetap menyeretku dengan setengah beringas….

***

Entah berapa lama aku terseret di antara lorong-lorong gelap, sampai akhirnya aku sampai di sebuah ruangan yang terang namun dingin mencekam. Ruangan itu cukup luas, dengan tujuh buah pintu berwarna hitam yang tampak mengambang di udara. Setiap pintu dijaga oleh dua sosok berjubah hitam. Pintu itu terbuka setiap 10 menit sekali, sembari mengeluarkan hembusan angin dan jilatan-jilatan api yang amat panas setiap kali terbuka. Jilatan api itu kemudian menangkap dan menyeret masuk satu persatu manusia yang tampak mengantri di depan pintu itu. Wajah-wajah dalam antrian itu penuh dengan rasa takut dan penyesalan, namun mereka sepertinya tak berdaya untuk lari dari antrian. Tubuh mereka seperti terpaku dan terbelenggu oleh rantai-rantai yang tak kasat. Akhirnya mereka hanya mampu pasrah dan menangis menunggu giliran dimasukkan ke dalam ruang di balik pintu.

Semua pemandangan itu membuatku ketakutan. Aku menoleh pada sosok hitam yang menyeret dan mencengkram bajuku, dan kemudian bertanya dengan kepanikan yang luar biasa,

“Di mana ini? Tempat apa ini? Kenapa kau bawa aku kemari?”

“DIAM!” jawab sosok itu.

“SUDAH TIBA SAATNYA KAU BERGABUNG DALAM SALAH SATU ANTRIAN ITU! KAU HARUS MASUK ANTRIAN DI PINTU KEDUA!” kata sosok itu lagi.

“Tapi…. tapi…. kenapa aku harus ke sana. Tidak…. Tidak…. Aku tidak mau!” teriakku histeris.

Aku kemudian berusaha berontak sekuat tenaga dari cengkeramannya. Aku mencoba lari. Tetapi semua usahaku sia-sia. Sosok itu terlalu kuat mencengkeramku, dia berhasil menyeretku masuk ke dalam antrian di depan pintu nomor dua. Keadaanku pun akhirnya sama dengan orang-orang yang mengantri lebih dahulu: aku hanya bisa pasrah dan menangis dengan penuh ketakutan. Tangisan ketakutan itu kemudian bertambah dengan tangisan penuh penyesalan ketika tiba-tiba di depan mataku seperti ada sebuah layar televisi besar yang menayangkan semua perbuatan jelekku semasa aku hidup. Aku melihat semua kerusakan moral yang pernah kulakukan di masa lalu, aku melihat sosok kedua orang tuaku yang menatapku dengan pandangan sedih dan kecewa, dan aku juga melihat wajah semua orang yang pernah aku sakiti. Semua keburukanku dibukakan di depan mataku, dan orang-orang yang pernah aku sakiti itu seolah mengerumuniku sambil menuding wajahku dan berteriak-teriak agar aku dipindahkan ke antrian pintu nomor tujuh; yaitu pintu dengan jilatan api yang paling panas. Aku benar-benar ketakutan. Sangat ketakutan. Aku memohon-mohon kepada mereka untuk memaafkanku, namun mereka tetap berteriak-teriak agar aku tetap dipindahkan ke antrian pintu tujuh…..

Kemudian dua sosok berjubah hitam mendekatiku, dan berkata,

“Kau lihat, mereka menginginkan kau dipindahkan ke pintu tujuh. Maka kami akan memindahkanmu ke sana…”

“Jangan! Jangan! Berdiri di depan pintu kedua pun aku sudah hampir tak mampu menahan rasa perih akibat hembusan panasnya. Aku tak kan mungkin sanggup masuk ke pintu tujuh. Tolong, jangan bawa aku ke sana.” pintaku dengan nada sangat memelas.

“Tidak bisa, Fabian. Kau mungkin pernah dengar dari seseorang bahwa walaupun Tuhan menentukan kau masuk ke pintu kedua, tetapi jika ada orang-orang yang tidak ridha dengan semua keburukan yang pernah kau lakukan kepada mereka, ketidakridhaan itu bisa lebih kuat daripada ketentuan Tuhan…. Ampunan dari Tuhan lebih mudah dicari daripada ampunan dari sesama manusia. Itu yang tak pernah kau mengerti selama kau hidup. Kau mengira hati orang itu bisa kau sakiti dan kau abaikan begitu saja sekehendakmu. Kau sudah memperlakukan banyak orang dengan cara yang buruk…. Kau terlalu banyak menyakiti orang lain. Bahkan secara tidak sadar, dengan semua sikap burukmu itu kau telah mengecewakan kedua orang tuamu yang telah merawat dan berusaha keras mendidikmu dengan baik.”

Aku tertegun mendengar kata-kata itu. Aku tiba-tiba dikuasai kesadaran akan semua perilaku buruk yang pernah kulakukan. Gelombang penyesalan yang tak mungkin bisa dijabarkan dengan kata-kata pun melandaku dengan begitu hebat. Namun aku tahu, penyesalan selalu datang terlambat. Aku tak mampu mengubah apapun lagi. Aku akhirnya duduk terpuruk sambil menangis dan tak berusaha melawan lagi ketika sosok hitam itu sedikit demi sedikit menyeretku ke depan pintu tujuh.

Sosok itu telah berhasil menyeretku hingga pintu kelima ketika tiba-tiba dari belakang terdengar suara dengan nada lembut. Suara itu membuat kedua sosok hitam berhenti menyeretku.

“Tunggu. Jangan bawa Fabian ke sana. Ada perubahan rencana….”

Aku dan kedua sosok hitam itu menoleh ke arah suara itu. Di belakang kami tampak sosok putih yang dikelilingi oleh cahaya menyilaukan.

“Maksudmu?” tanya salah satu sosok hitam pada sosok putih itu.

“Ada seseorang yang sangat keras berdoa dan memohon kebaikan untuk Fabian, hingga Tuhan pun akhirnya rela mengubah semua ketentuanNya walaupun dengan beberapa syarat tertentu….”

“Jadi….?” tanya sosok hitam itu lagi.

“Kini giliranku untuk membawa Fabian.” jawab sosok putih itu.

Mendengar kata-kata sosok putih itu, aku merasakan kelegaan luar biasa. Kemudian kurasakan desir angin lembut (yang datang entah dari mana) mengerumuni tubuhku. Aku tiba-tiba merasa ringan dan nyaman. Dengan kebahagiaan yang tak terjabar kata-kata, aku pun mengikuti sosok putih itu berjalan menuju ruang serba putih dengan tujuh pintu berwarna emas. Ruang ini sama luasnya dengan ruang yang baru kutinggalkan, di depan setiap pintu pun terlihat banyak pula antrian manusia, tetapi suasananya sangat lain. Antrian-antrian manusia itu tampak riang bersenda gurau. Tak ada wajah-wajah ketakutan dan penyesalan, yang ada hanyalah wajah-wajah penuh kebahagiaan dan rasa syukur. Melihat semua ini, aku pun berkata pada sosok putih itu,

“Terima kasih, Tuan. Aku sangat berterima kasih padamu karena telah membawaku ke sini. Sekarang, di antrian mana aku harus berdiri?”

“Hmmm…. Jangan terburu-buru ingin mengantri. Tak semudah itu. Kau belum saatnya ada di antrian itu.”

“Tapi…. kalau begitu, untuk apa aku di bawa ke sini?”

“Tuhan memerintahkanku untuk memperlihatkan ini padamu.” kata sosok putih itu sambil menjentikkan jarinya. Jentikan jari itu kemudian menghasilkan layar besar seperti televisi.

“Apakah kau mengenal orang ini?” tanya sosok putih itu.

Di layar itu, kulihat seorang perempuan yang sedang duduk bersimpuh dengan mukena putih. Di tangannya, bulir-bulir tasbih bergerak satu demi satu, mengiringi suaranya yang gemetar mengucapkan namaku dengan serentetan doa yang membuat jiwaku semakin lama semakin terasa nyaman. Tubuh dan wajahnya yang diselimuti cahaya membuatku tak bisa langsung mengenali sosok perempuan itu.

“Siapa dia?” tanyaku keheranan.

“Dialah yang membuatmu di bawa ke ruangan ini. Perhatikan baik-baik, aku yakin kau mengenalnya.”

Aku pun kemudian memperhatikan layar itu lebih seksama, dan beberapa menit kemudian aku seperti disengat listrik ketika aku akhirnya mengetahui siapa perempuan itu,

“Diandra?!” desisku.

“Ya, Diandra. Dialah yang begitu keras kepala mendoakanmu siang dan malam selama berhari-hari…. Hingga akhirnya Tuhan ridha mengubah ketentuanNya atasmu.”

“Tapi…. tapi…. tidak mungkin” desisku lagi.

“Apanya yang tidak mungkin?” tanya sosok putih itu.

“Dia…. dia….dia begitu berbeda. Dia…. dia sekarang begitu cantik. Aku tak pernah melihat dia secantik ini…. Apa benar dia Diandra…? Ah, tapi dia memang Diandra. Tapi bagaimana bisa?!” jawabku dengan kegugupan penuh keterkejutan yang tak mampu kutahan.

“Apanya yang bagaimana bisa?!”

“Setahuku dia tak punya kecantikan seperti itu, dan cahaya apa yang meliputinya? Indah sekali…” kataku.

“Fabian, di sini matamu melihat segala sesuatu dari hakekatnya, bukan dari pembungkus lahiriahnya…” kata sosok putih itu

“Maksud…. maksud Tuan?” tanyaku tak mengerti.

“Fabian, Diandra sebenarnya tak pernah berubah. Sejak dahulu dia memiliki kecantikan seperti itu. Tetapi selama ini kecantikan itu tak pernah berhasil kau lihat karena matamu di alam fana lebih suka diperdayakan oleh perhiasan dunia yang memabukkan, yang sifatnya hanya sementara. Kau selalu hanya terfokus pada kondisi lahiriah seseorang. Tapi di alam baka, matamu mampu melihat semua hal dari hakekatnya. Di sini, matamu mampu melihat Diandra dari kebeningan hati yang dimilikinya. Diandra mungkin tak memiliki kecantikan lahir seperti yang kau harapkan, namun dia memiliki kecantikan hati yang sifatnya abadi. Kecantikan hati itulah yang menciptakan cahaya di sekelilingnya. Sekarang, coba kau lihat ini…”

Sosok putih itu kembali menjentikkan jarinya. Di layar kali ini terlihat beberapa perempuan berwajah sangat jelek. Mereka begitu kotor dan menjijikan. Semua pemandangan tidak menyenangkan itu membuatku tak tahan untuk bertanya,

“Siapa mereka, Tuan?”

“Yang berbaju merah itu Juli, yang berbaju biru Ranti, dan yang berbaju hijau itu….”

“Tunggu dulu, Tuan. Tidak mungkin mereka Juli dan Ranti. Mereka….” kataku memotong pembicaraan sosok putih dengan nada kebingungan, namun kata-kataku pun tak selesai. Maka sosok putih itu pun berkata lagi,

“Sudah kukatakan padamu, bahwa di sini matamu tak bisa tertipu oleh apapun. Matamu mampu melihat segala sesuatu dari hakekatnya. Itu memang Juli dan Ranti, perempuan-perempuan yang semasa hidupmu kau cintai dan kau agung-agungkan karena kecantikan fisiknya. Dan perempuan cantik bercahaya itu memang Diandra yang dulu selalu kau hina, kau sakiti, dan kau perlakukan seperti barang tak berharga….”

“Tapi Tuan, apa yang sedang Diandra lakukan? Untuk apa dia mendoakanku?” tanyaku keheranan.

“Kenapa heran? Sejak dia mengenalmu, dia selalu mendoakanmu. Doanya tak pernah basa-basi. Doanya pun tak pernah putus.”

“Tapi untuk apa? Aku sudah demikian sering menyakitinya. Lalu mengapa dia masih mau bersusah payah mendoakanku ketika semua orang lebih suka menyeretku ke pintu hitam nomor tujuh??” tanyaku lagi.

“Fabian, rupanya hatimu benar-benar kering….. Kau bahkan tak mampu mengerti hal sesederhana itu.” kata sosok putih itu dengan nada penuh kesedihan.

“Tapi….”

“Sudahlah jangan bicara dulu. Sekarang lihatlah ini. Kau tentunya ingin tahu apa yang dilakukan oleh perempuan-perempuan pujaanmu itu ketika kau mati…” katanya sambil kembali menjentikkan jarinya, dan gambar di layar itu berubah.

Di layar itu, kini aku melihat Juli dan Ranti dengan sosoknya yang jelek menangis di pemakamanku. Namun semua itu tak berlangsung lama. Segera setelah acara pemakamanku selesai, mereka tampak bersenang-senang tertawa penuh kegembiraan. Tak ada kesedihan sedikit pun di mata mereka. Melihat sikap mereka yang begitu mudah melupakanku, tiba-tiba hatiku terasa sangat sakit. Sepertinya bagi mereka eksistensiku hanyalah sebuah episode kehidupan yang tak berarti sama sekali, yang harus dilupakan begitu saja begitu aku mati. Mereka memperlakukanku persis seperti aku memperlakukan teman-temanku yang datang dan pergi dalam kehidupanku. Dulu aku begitu sering meninggalkan teman-temanku begitu saja hanya dengan kalimat, “Babak kehidupanku denganmu sudah selesai. Sekarang tiba saatnya bagiku untuk membuka babak dan lembaran baru, dan kau tidak ada dalam lembaran itu!” Lalu aku meninggalkan mereka begitu saja. Lalu aku melupakan mereka. Aku melupakan semua kebaikan yang pernah mereka lakukan padaku.

Melihat sikap Juli dan Ranti di layar itu, aku tiba-tiba diliputi sebuah kesadaran dan kini menjadi sangat mengerti bagaimana perasaan teman-teman yang kutinggalkan dan kulupakan begitu saja. Mereka pasti memiliki perasaan sakit hati dan pedih yang sama dengan perasaan yang kurasakan sekarang….

Tak terasa, air mata mulai menggenang. Sedikit demi sedikit aku mulai mengerti apa sebenarnya yang hendak ditunjukkan oleh sosok putih ini. Maka aku pun akhirnya menangis dengan sedu penyesalan. Dan sedu sedanku semakin keras lagi ketika tangan sosok putih itu melakukan gerakan menyapu pada layar dan gambar di layar itu langsung berubah kembali menjadi sosok Diandra yang sedang duduk bersimpuh di sajadahnya dengan bulir-bulir tasbih yang bergerak satu demi satu, menyebut namaku dengan serentetan doa yang membuat jiwaku nyaman…

“Dan lihatlah apa yang Diandra lakukan ketika dia mengetahui bahwa kau telah mati…. Dia tak lari darimu seperti Juli dan Ranti. Dia tetap ada di sisimu. Ketika semua orang yang pernah kau sakiti ingin menyeretmu ke pintu hitam nomor tujuh, Diandra justru memaafkanmu. Padahal selama ini, dialah yang paling tersakiti oleh semua sikap dan kata-kata burukmu. Fabian, apa yang dapat kau simpulkan dari semua tayangan ini?” tanya sosok putih itu.

Aku terdiam tak menjawab. Sikap diamku membuat sosok putih itu berkata lagi dengan panjang lebar,

“Fabian, sebenarnya kau sangat beruntung karena Tuhan mengijinkanmu mengenal Diandra. Kau sangat beruntung karena Tuhan menyediakan Diandra di sekitarmu. Tetapi kau dulu memang sangat bodoh, karena kau selalu lebih suka melihat segala sesuatu dengan mata yang ada di kepalamu saja, bukan dengan mata hatimu. Kau tidak mau melihat cahaya Tuhan dalam diri Diandra. Kau selalu menolak untuk mendengar dan melihat kebenaran yang Tuhan sediakan melalui Diandra. Kau benar-benar tidak mau menyadari semua itu. Kau lebih memilih untuk tetap dengan kekeraskepalaanmu yang berada di jalan salah. Diandra sebenarnya anugerah belas kasih Tuhan untukmu. Tapi kau tak pernah mau menerimanya. Hal itu sempat membuat Tuhan marah, sangat marah padamu. Maka Tuhan pun memutuskan untuk mengambil nyawamu dengan cara yang sangat tragis, sebagai pelajaran bagimu agar tak memandang sebelah mata pada orang-orang seperti Diandra… Agar kau sadar bahwa orang-orang seperti Diandralah yang justru baik untukmu. Kau sama sekali tak tahu apapun tentang apa yang terbaik untuk hidupmu, hanya Tuhan yang tahu. Tapi kau selalu berkeras….. Selalu berkeras! Kau benar-benar sudah membuat Tuhan marah….

Fabian, lihatlah Diandra….. Siang malam dia memohon kepada Tuhan dengan sangat sungguh-sungguh agar kau bisa diterima di sisiNya dengan sebaik-baiknya. Siang malam dia pun memohon dengan sangat sungguh-sungguh agar Tuhan menjauhkanmu dari semua pintu hitam….. Dan karena dia meminta dari kebeningan dan ketulusan hatinya, maka Tuhan pun akhirnya mau mengabulkan permohonan itu…..” kata sosok putih itu.

Mendengar penjelasan sosok putih itu, gelombang kesadaran akan kebenaran hakiki dan rasa penyesalan kembali melandaku. Aku teringat kembali pada semua yang pernah kulakukan pada Diandra. Hampir semuanya buruk. Aku sangat sering membuatnya terluka. Dulu aku benar-benar tak pernah berpikir bahwa Diandra pun punya hati yang harus kujaga. Tapi seingatku Diandra memang tak pernah balas dendam, dia malah selalu mengatakan padaku bahwa seburuk apapun perlakuanku, dia akan tetap menyayangiku sebagai sahabat terbaiknya sampai kapanpun. Dan dulu aku selalu menjawab dan menganggap semua perkataan Diandra itu sebagai omong kosong munafik yang membosankan. Aku benar-benar tak percaya ada orang yang mampu menyayangi orang lain dengan ketulusan seperti itu. Aku tak percaya bahwa ada orang yang mau berteman denganku dalam keadaan susah dan senang. Toh, aku sendiri tak pernah ingin melibatkan diriku dengan seseorang yang hanya bisa menyusahkanku. Aku selalu meninggalkan teman-temanku yang kuanggap hanya akan merepotkan kehidupanku. Bah! Persetan dengan ketulusan! Aku hanya mencoba untuk bersikap realistis….!!! Karena itulah dulu aku pun selalu menganggap sikap baik Diandra hanya sebagai caranya untuk memikatku. Dan aku menganggap cara Diandra itu menjijikan. Berpura-pura baik hanya untuk memikatku! Dengan semua kondisinya, dulu pun aku selalu berpikir bahwa dia tak pantas memperebutkan aku…. Bagiku saat itu, Diandra adalah barang bekas yang tak perlu kutoleh!

Namun semua penjelasan sosok putih dan semua pemandangan yang kulihat di layar tadi benar-benar membuatku sadar dan mengubah semua pemikiranku tentang kehidupan dan tentang Diandra. Kesadaran itu membuat mataku kembali berubah menjadi telaga yang menumpahkan airnya. Jiwaku benar-benar sangat terpukul. Satu persatu kebaikan dan ketulusan Diandra akhirnya dapat kulihat dengan jelas. Aku menjadi sangat menyesal karena mengabaikannya. Aku menangis cukup lama sampai tiba-tiba dalam kepalaku timbul pikiran yang menurutku sangat brilian,

“Tuan, dapatkah aku memohon sesuatu…”

“Kau tak punya hak untuk memohon apapun. Memohon hanya diperbolehkan untuk manusia hidup.”

“Tolonglah, Tuan. Permohonanku ini sangat penting..” kataku dengan nada memelas.

“Aku tak punya otoritas apapun untuk memutuskan apakah kau boleh memohon atau tidak. Jadi maaf, kau tak bisa memohon apapun lagi. Memangnya kau ingin memohon apa sih?”

“Aku mohon dikembalikan ke dunia walau hanya untuk satu hari. Aku ingin meminta maaf pada Diandra dan pada semua orang yang telah kusakiti. Aku ingin berterima kasih pada Diandra. Aku juga ingin mengatakan pada Diandra bahwa aku sangat menyayangi dan sangat membutuhkan bimbingannya…”

“Hmmm…. jika itu permohonanmu, sebenarnya kau tak perlu memohon, karena Tuhan pun punya rencana yang mirip seperti itu. Tapi kesempatan itu kau dapatkan sama sekali bukan karena kau yang memohon. Tidak, tidak ada seorang mati pun yang bisa memohon dirinya diberi kesempatan hidup lagi untuk memperbaiki kesalahannya. Kau diberi kesempatan kedua semata-mata karena Tuhan mengabulkan doa Diandra.”

“Benarkah? Benarkah aku diberi kesempatan kedua? Syukurlah, Terima kasih Tuhan!” seruku dengan girang.

“Kau jangan girang dulu. Kau dikembalikan ke dunia bukan sebagai manusia…” kata sosok putih itu

“Maksud Tuan?” tanyaku keheranan.

“Kau kan bisa melihat bagaimana bentuk jasadmu ketika mati?! Kepalamu hancur, otakmu terburai. Jika kau dikembalikan lagi ke tubuhmu, tak ada seorang pun yang akan percaya bahwa kau bisa hidup lagi.”

“Tapi aku kan bisa dimasukkan ke jasad orang lain…” kataku penuh harap.

“Enak saja! Tidak bisa. Kau tidak bisa begitu saja masuk ke jasad orang lain. Tidak, kau akan kembali ke dunia dalam wujud kupu-kupu [1] putih berbintik biru.”

“Apa? Kupu-kupu? Tapi bagaimana aku bisa meminta maaf dan mengingkapkan semua perasaanku pada Diandra jika aku datang kepadanya dalam wujud kupu-kupu?! Sepertinya kucing masih lebih mudah untuk menyampaikan maksudnya, karena dia bisa mengeong. Tapi kupu-kupu? Aku tak pernah mendengar kupu-kupu bersuara…” kataku dengan nada putus asa.

“Sudahlah, percuma kau protes. Suaramu sama sekali tak didengar oleh Tuhan. Sekali lagi kutegaskan, Tuhan memberimu kesempatan kedua hanya karena doa Diandra. Dan Tuhan sudah memutuskan untuk mengabulkan doa Diandra dengan syarat-syarat tertentu yang harus kau penuhi. Kau harus jadi kupu-kupu.”

“Tapi bagaimana caranya aku berkomunikasi dengan Diandra?”

“Pikirkan saja sendiri. O ya, kau hanya punya waktu tujuh hari untuk meyakinkan Diandra bahwa kau adalah Fabian. Di hari ke tujuh, jika kau berhasil meyakinkan Diandra, kau berhak memasuki salah satu pintu emas. Dan keyakinan Diandra itu harus diucapkan di hadapanmu oleh mulut Diandra sendiri. Jika Diandra hanya yakin tapi tidak mengatakannya padamu, kau dianggap tidak berhasil. Dan… kau juga harus meminta maaf pada Diandra secara langsung. Jika kau tidak berhasil, kau akan kembali dimasukkan ke dalam salah satu pintu hitam.”

“Tujuh hari? Hanya tujuh hari? Sedangkan yang mampu kulakukan hanya membisu dan mengepak-ngepakkan sayapku….. Itu sih sama saja dengan tidak mengabulkan doa Diandra” keluhku dengan nada semakin putus asa.

“Kau ini memang benar-benar keterlaluan. Saat ini kau benar-benar sudah tak punya pilihan, tapi kau masih saja meragukan Tuhanmu. Sudahlah, terima dan yakini saja ketentuan dari Tuhan itu. Masih untung kau diberi kesempatan kedua…. O ya, ada dua hal lagi yang perlu kau ketahui tentang Diandra. Pertama, Diandra sebenarnya sudah sejak lama diberi vision oleh Tuhan tentang kecelakaanmu. Dia sudah tahu bahwa kau kan mengalami kecelakaan itu…” kata sosok putih itu

“Apa? Vision? Diandra sudah tahu? Jadi…. Diandra benar-benar bisa melihat masa depan?! Kukira dia hanya mengada-ada untuk menarik perhatianku. Tapi…. tapi…. mengapa dia tidak memberitahuku?” kataku dengan sedikit terkejut dan kesal.

“Diandra tidak pernah berbohong tentang visionnya….. Dan Diandra sudah berusaha memberitahumu walaupun tidak secara gamblang….”

“O ya? Kapan?”

“Coba kau ingat empat minggu sebelum kejadian…. apakah kau menerima sms dan telepon dari Diandra?”

Mendengar kata-kata sosok putih itu, mendadak aku merasa lemas. Aku ingat empat minggu sebelum aku mati, aku memang menerima beberapa sms dari Diandra. Tapi dengan bodohnya aku menghapus semua sms itu tanpa kubaca apa isinya. Aku juga ingat ada 20 missed call dari Diandra. Tapi telepon itu memang sengaja tak kuangkat. Telepon itu bahkan akhirnya kumatikan dan kusimpan dalam laci. Aku membiarkan telepon itu tidak aktif sampai berhari-hari. Dan beberapa hari sebelum kematianku, aku membuang semua nomor yang diketahui Diandra dan menggantinya dengan nomor yang baru. Aku malas menerima sms dan telepon dari orang yang selama ini kuanggap tidak tahu diri karena telah berani menyukaiku tanpa punya kelebihan apa-apa. Mengingat semua itu, aku kemudian hanya bisa mendesis dengan lemah,

“Apa yang Diandra tulis dalam smsnya?”

“Diandra memintamu agar kau tidak pergi ke mana-mana pada hari kecelakaan itu terjadi….”

Keterangan dari sosok putih itu benar-benar membuatku semakin lemas. Aku pun semakin menyadari bahwa selama ini bukan Diandra yang tak tahu diri, melainkan akulah yang benar-benar tak tahu diri. Aku pun kemudian semakin merasa tak tahu diri ketika sosok putih itu melanjutkan keterangannya,

“O ya, tadi kukatakan bahwa ada dua hal lagi yang perlu kau ketahui tentang Diandra. Yang pertama sudah kujelaskan padamu. Satu hal lagi adalah….. Diandra menyayangimu dengan cara yang sama sekali berbeda dengan apa yang kau pikirkan… kau banyak sekali salah sangka terhadapnya.” kata sosok putih itu lagi.

“Maksud Tuan?” tanyaku setengah tak mengerti.

“Diandra memang menyayangimu, tetapi Diandra menyayangimu tidak dengan cara yang sama seperti Juli dan Ranti menyayangimu. Diandra menyayangi dan mencintaimu di dalam Tuhan, bukan perasaan cinta dan sayang yang disertai dengan nafsu…..”

“Maaf, tapi aku belum bisa mengerti jenis cinta dan sayang apa yang tidak disertai dengan nafsu? Bagaimana seorang laki-laki dan perempuan yang bukan saudara bisa memiliki cinta seperti itu?” tanyaku keheranan.

“Hmmm… tepat seperti dugaanku. Kau ini sebenarnya orang yang pikirannya sangat sempit dan picik. Hanya orang yang berhati luas dan bening yang benar-benar mampu mengerti bentuk cinta dan kasih sayang yang dimiliki Diandra…. Kau tahu, cinta Juli dan Ranti hanya akan bertahan selama kau memberi keuntungan untuk mereka. Juli dan Ranti memiliki harapan-harapan atasmu yang timbul dari ego mereka sebagai perempuan. Begitu mereka melihat bahwa kau tak lagi bisa diharapkan, cepat atau lambat mereka akan meninggalkanmu. Dengarlah, ini mungkin pernyataan yang tak bisa kau terima begitu saja, tapi mau tidak mau kau harus mengakuinya: Juli dan Ranti sebenarnya tak benar-benar mencintaimu. Juli dan Ranti hanya mencintai diri mereka sendiri. Juli dan Ranti sebenarnya hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri, mereka tak benar-benar peduli dengan kepentinganmu. Juli dan Ranti hanya memikirkan kebahagiaan mereka sendiri, mereka tak benar-benar peduli dengan kebahagiaanmu. Tapi Diandra tidak begitu. Diandra ingin dekat denganmu bukan karena nafsu-nafsu dan harapan-harapan yang timbul dari egonya, melainkan karena hakekat kasih sayang itu sendiri. Diandra sangat mengkhawatirkan dirimu. Diandra mampu melihat dirimu di masa lalu lebih banyak daripada yang bisa kau bayangkan. Ya, Fabian, jangan memandangku dengan keheranan seperti itu. Diandra memang tahu hampir semua masa lalumu tanpa kau harus menceritakannya! Kau harus percaya bahwa di dunia ini memang ada orang-orang yang ditakdirkan Tuhan untuk bisa mengetahui hal-hal yang gaib. Fabian, Diandra tahu hampir semua hal yang bahkan selama ini kau sembunyikan dari orang tuamu. Diandra pun mampu melihat masa depanmu. Dia tahu resiko-resiko apa yang akan kau peroleh dengan setiap pilihan dalam hidupmu. Karena itulah Diandra sangat ingin di dekatmu. Diandra tak ingin kau berbelok lagi dari jalan Tuhan, Diandra pun tak mau kau mengecewakan kedua orang tuamu….”

Aku benar-benar ternganga dengan semua keterangan itu. Namun aku tak berani berkata apa-apa lagi. Aku membiarkan sosok putih itu melanjutkan keterangannya,

“Kau tahu, Diandra benar-benar tak pernah peduli dengan keselamatan dirinya, keselamatanmulah yang utama. Diandra pun tak terlalu peduli dengan kebahagiaan yang akan didapatnya, kebahagiaan dirimulah yang utama…. Karena itu, dia mampu bertahan untuk tetap menyayangimu walaupun kau selalu memperlakukannya dengan buruk. Dia mampu tetap mendoakanmu walaupun kau sangat suka membentak dan mengusirnya dengan semua sikap dan kata-katamu. Dia sama sekali tak berpikir keuntungan apa yang bisa diperoleh darimu, dia hanya memikirkanmu sebagaimana adanya kamu. Dengan kasih sayang yang dimilikinya, Diandra mampu menyayangimu ketika kau berjaya, dia pun mampu menyayangimu ketika kau tidak berdaya. Dia adalah sosok yang akan tetap bertahan di sisimu ketika orang di seluruh dunia meninggalkanmu….

Fabian, kasih sayang Diandra untukmu adalah abadi, suci, dan sakral. Dengan begitu, jangan kuatir menjadi kupu-kupu, karena Diandra akan tetap menyayangimu walaupun wujudmu sudah berubah menjadi kupu-kupu. Percayalah itu. Baiklah, aku tak akan berpanjang lebar lagi, atas ijin Tuhan sudah saatnya kau kujadikan kupu-kupu.”

Sosok itu kemudian mengakhiri kata-katanya dengan kembali menjentikkan jarinya. Seiring dengan jentikan itu, aku merasa semakin lama semakin mengecil, memadat, dan sedikit berbulu. Tanganku terasa melebar namun sangat ringan. Pandanganku kemudian berubah menjadi terkotak-kotak. Dalam hitungan detik, akhirnya aku merasa bahwa proses perubahan itu telah selesai. Ketika perubahan itu telah terjadi dengan sempurna, aku menyadari bahwa aku sudah berada di depan rumah Diandra…..

***

Aku mengepak-ngepakkan sayapku dengan bersemangat di sekeliling rumah Diandra. Diandra ada di sana, sedang membaca di teras depan. Diandra tampak cantik sekali. Tubuh dan wajahnya bercahaya, persis seperti sosok Diandra yang kulihat di layar seperti televisi itu. “Ah, rupanya aku lebih pintar ketika aku sudah mati dan menjadi kupu-kupu daripada ketika aku masih hidup sebagai manusia…. Dulu aku tak mampu melihat Diandra dengan perspektif yang benar menurut Tuhan. Dulu aku tak mampu menilai dengan benar kasih sayang seperti apa yang seharusnya kucari dan kupertahankan. Aku malah menyibukkan diriku dengan cinta semu dari Juli dan Ranti. Dulu aku malah menghina Diandra. Sebagai manusia, aku memang benar-benar bodoh. Aku telah menyia-nyiakan sesuatu yang seharusnya tidak boleh kusia-siakan. Aku pun telah membuang sesuatu yang seharusnya kutangkap pada kesempatan pertama dan tak boleh kulepaskan lagi. Sekarang semuanya sudah terlambat…..” kata batinku dengan penuh penyesalan.

Lalu tiba-tiba, entah dari mana datangnya, ketika melihat Diandra aku merasakan sebuah kerinduan yang tak pernah kurasakan sebelumnya; kerinduan yang terasa lebih besar dan lebih suci daripada kerinduan yang pernah kurasakan untuk Juli dan Ranti. Ada sebuah ketenangan dan kenyamanan batin yang menyelimuti kerinduan itu. Aku pun kemudian ingat semua penjelasan sosok putih itu tentang Diandra. Mengingat semua itu, hatiku pun akhirnya terisi dengan segala macam perasaan yang berkecamuk. Di satu sisi muncul perasaan cinta, rindu, rasa berterima kasih, rasa membutuhkan, dan sebagainya yang tak dapat kubendung, namun di sisi lain, ada perasaan teramat sakit yang menghujamku karena aku sadar bahwa kini diriku hanya seekor kupu-kupu yang tak punya kesempatan lagi untuk memiliki kasih sayang Diandra yang suci. Semua perasaanku itu membuatku sempat tertegun agak lama sebelum akhirnya aku memberanikan diri hinggap di buku yang sedang dibacanya…

Sejenak Diandra tampak terkejut, namun dia tak mengusirku. Dia hanya tersenyum melihatku dan berkata,

“Hai…. apa kabar?” katanya sambil mengusap sayapku dengan sangat hati-hati. Dia sepertinya tak ingin sayapku rusak.

Aku sangat senang diperlakukan dengan lembut oleh Diandra. Aku menunjukkan kegembiraanku itu dengan terbang mengelilingi kepala Diandra dengan bersemangat. Diandra tertawa-tawa melihat tingkahku. Ketika aku sedikit lelah berkeliling dan memutuskan untuk hinggap di bahunya, Diandra mengatakan sesuatu yang membuatku sangat ingin berteriak mengatakan bahwa aku Fabian…

“Kau tahu, aku pernah membaca dalam sebuah buku…. Katanya kupu-kupu tak pernah percuma mengepakkan sayapnya. Kupu-kupu tidak hanya menggunakan sayapnya untuk terbang. Manusia berbicara dengan pita suaranya, sedangkan kupu-kupu berbicara dengan kepakan sayapnya…..”

“Dan kau tahu, mitos Yunani Kuno menyebutkan bahwa orang yang meninggal akan berubah menjadi kupu-kupu…” katanya lagi.

Mendengar perkataan Diandra, dengan segera aku kembali terbang mengelilingi kepala Diandra dengan semakin bersemangat. Aku mengepakkan sayapku sekuat yang kubisa. Aku ingin Diandra mengerti bahwa aku ingin berkomunikasi dengannya. Dan kesensitifan perasaan Diandra sepertinya membuat usahaku tak sepenuhnya sia-sia…

“Ah, kau rupanya mengerti kata-kataku ya? Dan sekarang kau ingin mengobrol denganku ya?” kata Diandra sambil tertawa.

Aku kembali mengepakkan sayapku untuk mengatakan ‘ya’. Untuk sesaat Diandra tampak dibahagiakan oleh kenyataan bahwa ada seekor kupu-kupu yang ingin berkomunikasi dengannya. Namun tiba-tiba wajahnya berubah murung, lalu dia pun berkata,

“Tapi aku tak sepenuhnya mengerti kepakan sayapmu…. Bagaimana sekarang aku mampu berkomunikasi denganmu? Maafkan aku ya.”. Lalu Diandra pun terdiam. Aku pun ikut terdiam. Hari itu usahaku untuk berkomunikasi dengan Diandra mengalami kebuntuan….

***

Hari kedua, ketiga, keempat, dan kelima, aku masih mengalami kebuntuan komunikasi yang sama. Diandra sepertinya tak bisa mengerti apa yang ingin kusampaikan. Dia hanya selalu tersenyum gembira ketika aku terbang ke sana kemari dengan gerakan-gerakan yang sebenarnya memiliki makna. Namun karena aku berbicara dalam bahasa kupu-kupu, semua makna itu menjadi pupus begitu saja. Satu-satunya kemajuan yang kudapatkan sepertinya hanya kesadaran Diandra bahwa kupu-kupu yang sama tiap hari mendatangi dirinya. Hanya itu. Kadang aku memang melihat sikap Diandra yang sangat aneh ketika memandangiku, tapi aku tak yakin dia mengerti. Hal ini membuatku sempat putus asa. Bagaimana tidak? Sedikit demi sedikit aku semakin kehabisan waktu.

Sebagian diriku ingin marah pada Diandra yang tak bisa mengerti, namun sebagian diriku sangat mengerti bahwa ketidakmengertian Diandra adalah sebuah kewajaran. Bagaimanapun Diandra adalah manusia, aku adalah kupu-kupu! Sampai kapan pun tak ada manusia yang mampu mengerti bahasa kupu-kupu!

Jika saja aku masih memiliki mata yang bisa menangis, air mata mungkin sudah berlinangan membasahi tubuhku. Tapi kupu-kupu tak bisa menangis, maka di hari keenam aku pun hanya hinggap pada salah satu daun yang tersembunyi di taman rumah Diandra tanpa melakukan apa-apa. Aku diam melamun, merenung, menyesali nasib dan semua perbuatanku di masa lalu, “Ah, seandainya dulu aku berlaku lebih bijak. Seandainya dulu aku mau lebih mendengarkan dan menuruti nasehat Diandra. Seandainya aku mau melihat Diandra dengan mata hatiku…. Mungkin aku tak perlu menjadi seekor kupu-kupu dulu sebelum bisa memasuki pintu emas itu…” kataku membatin.

Lamunan, perenungan, dan penyesalan itu akhirnya membentuk sebuah pemikiran penuh keputusasaan dalam diriku: Mungkin memang sudah seharusnya aku masuk pintu hitam nomor tujuh. Dosaku pada orang lain memang sudah terlalu banyak. Kesempatan jadi kupu-kupu ini diberikan Tuhan bukan untuk mengubah nasibku. Kesempatan jadi kupu-kupu ini diberikan Tuhan bukan untuk membuatku jadi dimasukkan ke pintu emas, melainkan hanya untuk memberiku pelajaran tentang cinta, kasih sayang, ketulusan, dan kesetiaan yang hakiki. Tuhan juga ingin memberiku pelajaran bahwa hidup kita seharusnya dijalani dengan sebaik-baiknya di jalan Tuhan.

Diandra dulu pernah mengatakan padaku bahwa jangan pernah mencoba-coba untuk berbelok, apalagi dengan argumen ‘masih banyak waktu untuk memperbaiki kesalahan’, karena waktu untuk memperbaiki semua kesalahan itu belum tentu ada….. Berbelok kadang-kadang memang terasa mengasyikkan. Mencoba-coba pun kadang-kadang memang membuat hidup kita terasa lebih berwarna. Seolah ada tantangan tersendiri yang mampu membuat diri kita bersemangat menjalani hidup. Tapi seringkali manusia sulit untuk kembali ke jalan lurus jika sudah berbelok. Jadi, daripada mengharapkan memiliki waktu untuk memperbaiki kesalahan, berbelok, dan mencoba-coba berjalan di jalan yang tak direstui Tuhan, lebih baik kita sejak detik ini berusaha keras untuk selalu berjalan lurus di jalan Tuhan….

Dulu aku menganggap semua perkataan Diandra itu sebagai omong kosong munafik, tapi sekarang aku menyadari sepenuhnya bahwa kata-kata Diandra adalah sebuah kebenaran yang tak terbantahkan. Sayang, aku menyadarinya setelah aku tak mungkin mengubah yang sudah terjadi….

***

Di pagi hari ke tujuh, aku terbang dengan gontai menuju kamar Diandra. Aku sudah memutuskan untuk berpamitan pada Diandra. Setelah itu, aku akan kembali ke ruangan terang dengan tujuh pintu hitam.

Kamar Diandra dipenuhi oleh banyak buku, namun tertata sangat rapi. Diandra tak di sana. Mungkin sedang di kamar mandi, karena aku mendengar deburan air di sebelah kamarnya. Aku kemudian memandang ke sekeliling kamar Diandra. Di dekat pintu masuk, ada sebuah meja kerja dengan laptop yang sedang menyala di sana. Di sebelah meja kerja, ada lemari es kecil yang pintunya dihiasi huruf-huruf bermagnet. Melihat huruf-huruf itu, tiba-tiba datang sebuah ide yang sangat brilian dalam otakku. Sangat brilian!

Aku pun kemudian menjadi sangat tak sabar menunggu Diandra keluar dari kamar mandi. Ketika Diandra masuk kamar, aku terbang berkeliling memancing perhatian Diandra. Diandra menyapa lembut,

“Hai…. kau datang lagi. Ke mana kau kemarin?”

Aku kini menjawab pertanyaan Nya dengan sebuah strategi yang biasa dipakai oleh manusia bisu. Aku berkali-kali hinggap di huruf-huruf bermagnet yang tertempel di lemari es itu. Aku hinggap di huruf-huruf itu dengan membentuk namaku, F-A-B-I-A-N. Aku pun membentuk nama yang biasa dipakai Diandra untuk memanggilku, A-B-I.

Detik demi detik berlalu, mengiringi hinggapan demi hinggapanku di huruf-huruf itu. Hinggapan demi hinggapan penuh harap dan cemas menunggu reaksi dari Diandra. “Diandra pasti sangat terkejut!” kataku dalam hati. Namun…. aku ternyata tak mendapatkan reaksi itu. Diandra hanya memandangku dengan penuh kesedihan dan keprihatinan. Justru akulah yang terlonjak sangat kaget ketika Diandra kemudian berkata dengan suara gemetar menahan tangis,

“Aku tahu siapa kamu…..”

“A-p-a-?-!” tanyaku

“s-e-j-a-k- k-a-p-a-n- k-a-u- t-a-h-u-?” tanyaku lagi.

“Sejak kau datang, Abi. Aku sebenarnya tak melulu melihatmu sebagai kupu-kupu. Aku kadang-kadang dapat melihat sosokmu di balik bentuk kupu-kupu itu, Abi.”

“A-p-a-?”

“Abi, kau kan tahu bahwa Tuhan memberiku kemampuan untuk dapat melihat yang tak bisa dilihat orang lain….”

“t-a-p-i- m-e-n-g-a-p-a- k-a-u- t-i-d-a-k- b-i-l-a-n-g- p-a-d-a-k-u?” tanyaku dengan sedikit kesal namun lega. Selama berhari-hari ternyata aku telah mencemaskan sesuatu yang sebenarnya tak perlu dicemaskan. Selain itu, aku pun merasa lega karena kemampuan Diandra melihat hal-hal gaib (kemampuan Diandra yang selama ini kulecehkan dan kuanggap hanya bualan Diandra saja untuk memikatku) ternyata mampu membantuku di saat aku kesulitan…..

“Aku mencoba mengatakan padamu dengan menyebutkan mitos Yunani kuno itu…. Tapi aku takut untuk bicara lebih rinci.” jawab Diandra.

“k-e-n-a-p-a- t-a-k-u-t-?”

“Karena aku masih ragu, Abi.”

“R-a-g-u-?”

“Aku tidak tahu alasannya kenapa kau mendatangiku. Selama hidupmu, kau tidak pernah mendatangi aku, kan? Aku tidak tahu kenapa bukan Juli atau Ranti yang kau datangi. Setahuku, bagimu aku bukan temanmu. Ya, kan? Tetapi bagaimanapun, kehadiranmu dalam bentuk kupu-kupu benar-benar membuatku merasa senang…. “

“S-e-n-a-n-g-?”

“Akhirnya kau mau datang tanpa bisa bersikap dan berkata kasar yang mampu membuatku menangis dengan harga diri terkoyak…. tetapi, mengapa harus menunggu sampai satu tahun hanya untuk mendatangiku?“

“S-a-t-u- t-a-h-u-n-? T-a-p-i- a-k-u- b-a-r-u- m-e-n-i-n-g-g-a-l- b-e-b-e-r-a-p-a- h-a-r-i- y-a-n-g- l-a-l-u….”

“Ini sudah satu tahun sejak kecelakaan itu…. Maafkan aku, Abi. Aku kurang keras berusaha untuk memberitahumu tentang kecelakaan itu. Seharusnya aku memaksakan diri untuk datang ke rumahmu untuk memperingatkanmu ketika aku tak berhasil menghubungi lewat telepon…”

“D-i-a-n-d-r-a- i-t-u- b-u-k-a-n- s-a-l-a-h-m-u…”

“M-a-a-f-k-a-n- a-k-u…”

“Maaf untuk apa?” tanya Diandra.

“S-e-g-a-l-a-n-y-a.. A-k-u- s-e-l-a-l-u- m-e-n-y-a-k-i-t-i-m-u.”

Diandra terdiam. Matanya teduh memandangku. Kemudian dia berkata sambil tersenyum lembut,

“Ya…. hobby-mu yang satu itu dulu memang sering membuatku menangis… Tapi aku tak pernah membencimu, Abi. Aku selalu berdoa untuk kebaikanmu…”

“A-k-u- t-a-h-u. K-a-r-e-n-a- i-t-u-l-a-h- a-k-u- m-i-n-t-a- m-a-a-f. A-k-u- s-a-n-g-a-t- m-e-n-y-e-s-a-l.”

“T-a-k- s-e-h-a-r-u-s-n-y-a- a-k-u- m-e-n-g-a-b-a-i-k-a-n-m-u…”

“Sudahlah, Abi. Semuanya kan sudah berlalu. Aku sudah memaafkanmu sejak lama, jadi kau tak perlu meminta lagi…” kata Diandra lembut.

“K-e-n-a-p-a- k-a-u- s-e-l-a-l-u- b-e-r-s-i-k-a-p- b-a-i-k- p-a-d-a-k-u- p-a-d-a-h-a-l- a-k-u- s-e-l-a-l-u- m-e-n-y-a-k-i-t-i-m-u-?”

“Aku akan menjawab pertanyaanmu itu dengan pertanyaan lagi…. Kenapa aku harus tidak baik padamu, Abi? Manusia diciptakan untuk selalu bisa memilih…. Baik atau Buruk. Kebaikan selalu membawa kenyamanan dalam hati setiap orang, sedangkan keburukan selalu menebarkan sakit hati dan tangis kesedihan. Ketika kita bisa mengatur diri kita menjadi baik, mengapa kita harus menjadi buruk? Ketika aku bisa menciptakan kenyamanan untuk orang lain, mengapa aku harus menebarkan sakit hati dan tangis sedih? Itu prinsipku, Abi….”

“M-a-a-f-k-a-n- k-a-r-e-n-a- a-k-u- t-a-k- p-e-r-n-a-h- m-e-n-u-r-u-t-i- n-a-s-e-h-a-t-m-u.”

“Kau tak perlu minta maaf untuk itu, sudah kukatakan bahwa manusia selalu diciptakan untuk memilih… Aku selalu punya hak untuk mengucapkan nasehatku untukmu, kau pun selalu punya hak untuk tidak menurutinya…”

“T-a-p-i- n-a-s-e-h-a-t-m-u- d-i-j-a-l-a-n- T-u-h-a-n…”

“Sudahlah, manusia selalu diberi kebebasan untuk mengambil jalan yang ingin ditempuhnya dengan resikonya sendiri-sendiri…..”

“I-t-u-l-a-h, a-k-u- t-a-k- p-e-r-n-a-h- m-e-m-i-k-i-r-k-a-n- r-e-s-i-k-o-n-y-a. B-a-h-k-a-n-m-u-n-g-k-i-n- a-k-u- t-a-k- p-e-r-n-a-h- b-e-r-p-i-k-i-r….. J-i-k-a- a-k-u- t-u-r-u-t-i- n-a-s-e-h-a-t-m-u- a-k-u- m-u-n-g-k-i-n- t-a-k- p-e-r-l-u- j-a-d-i- k-u-p-u-k-u-p-u….”

“Tuhan sedang menunjukkan jalan untukmu… Ikuti sajalah, Abi…. Apapun bentukmu sekarang, yang penting, jangan mencoba lagi untuk lari dari jalanNya…. Aku malah iri padamu…”

“I-r-i-?”

“Aku sebagai manusia masih harus terus berjuang untuk terus berada di jalanNya. Sampai aku mati. Mencoba menepis setiap godaan, bertahan di setiap ujian dan cobaan. Aku tidak tahu apakah aku akan terus berhasil melalui semua godaan, ujian, dan cobaan itu…. Bisa saja kan di akhir hayatku aku menjadi lelah dan kemudian berpaling dariNya. Aku tidak pernah tau itu, Abi. Tapi kau kupu-kupu. Kupu-kupu tak punya perilaku yang harus dipertanggungjawabkan. Bukankah itu lebih bagus?” jawab Diandra sambil terseyum.

“J-a-d-i- k-a-u- b-e-n-a-r- b-e-n-a-r- m-e-m-a-a-f-k-a-n-k-u-?”

“Tentu saja, Abi…”

Seiring dengan ucapan Diandra yang terakhir, tiba-tiba muncul sinar terang yang sangat menyilaukan mataku dan Diandra. Sejenak kami seperti dibutakan oleh cahaya itu. Dan ketika cahaya itu sedikit memudar, kami melihat sosok putih yang mengubahku jadi kupu-kupu. Sosok putih itu kemudian menjentikkan jarinya di hadapanku. Lalu tiba-tiba aku merasa kembali bermetamorfosis….. Perlahan tapi pasti, sayapku menghilang dan digantikan oleh sepasang tangan dan kaki. Aku kembali menjadi sosok manusia, walaupun sosok itu hanya terdiri dari kumpulan cahaya, bukan raga. Tubuhku terbalut pakaian putih. Diandra tampak kebingungan dengan keadaan ini. Dia memandang ke arahku dan ke arah sosok putih itu berganti-ganti. Lalu dia bertanya,

“Si…. siapa ini, Abi.”

“Sepertinya aku harus pergi, Diandra….” kataku. Ah, aku sangat bersyukur karena aku dapat berbicara kembali dengan bibirku.

“Ke mana, Abi?”

“Waktuku habis Diandra. Aku hanya diberi kesempatan tujuh hari. Dan sepertinya aku berhasil…. Terima kasih Diandra…. Karena kaulah yang membuatku diberi kesempatan kedua. Aku tak kan lupakan itu…..”

“Tapi…. aku tak berbuat apa-apa, Abi… Aku hanya menginginkan kau bahagia di alam sana. Aku tak memintakan kesempatan kedua. Apa maksudmu dengan kesempatan kedua?”

“Keinginanmulah yang membuat aku jadi kupu-kupu dan membuatku tak jadi dimasukkan ke pintu hitam…”

“Pintu hitam??”

“Sudahlah Diandra, kau tak akan memahami bagaimana gembiranya aku telah kau selamatkan dengan doamu…. Sekali lagi terima kasih. Aku menyayangimu…. Sangat menyayangimu. Satu-satunya penyesalanku sekarang hanyalah ketika aku masih hidup aku tak menyadari bahwa aku seharusnya menyayangimu. Sekarang, semua kata-kata itu hanya bisa kuucapkan tanpa pernah dapat memilikimu…. ”

Setelah aku menyelesaikan kalimatku, sosok putih itu meraih tanganku dan mengajakku pergi. Kami pun melayang perlahan menuju ruang putih berpintu emas. Lalu aku dipersilakan mengantri di depan pintu emas nomor dua…. Dalam antrian, masih bisa kudengar samar-samar suara Diandra memanggil-manggil namaku…..

***

“Abi….. Abi…..”

“Abi…. kenapa kau tidur di sini? Pindahlah ke kamarmu.”

Aku membuka mataku dengan sedikit kebingungan. Kulihat sekelilingku… ternyata aku berada di sofa ruang tengah rumahku. Di depanku, kulihat televisi menyala dengan layar membiru. Sudah tak ada acara lagi…. Rupanya sudah sangat larut….. Tapi tak ada Diandra. Yang kulihat hanyalah ibuku yang memandangku dengan sedikit kesal. Untuk sejenak aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi padaku. Tetapi sedikit demi sedikit aku berhasil mengumpulkan kesadaranku sepenuhnya. Lalu aku pun bernafas dengan lega sambil membatin, “Ternyata pengalaman menjadi kupu-kupu itu hanya mimpi!”

Untuk lebih memastikan aku hanya bermimpi, aku meraba kepalaku, tubuhku, dan sebagainya. “Ah, semuanya masih utuh. Terima kasih, Tuhan!” seruku dalam hati.

Aku lalu memeluk ibuku erat-erat sampai ibuku kebingungan. Namun aku tak peduli. Aku begitu bahagia bahwa aku hanya bermimpi. Namun, mimpi itu benar-benar membuatku aku mampu memandang dunia dengan perspektif yang sama sekali baru. Aku kemudian diliputi kesadaran tentang Diandra. Kerinduan dan keberterimakasihan pada Diandra pun tiba-tiba menyergapku. Aku menjadi tak sabar menunggu pagi datang. Aku sangat ingin segera pergi ke rumah Diandra. Aku sangat ingin bertemu Diandra. Aku benar-benar ingin minta maaf padanya. Pendeknya, mimpi yang kualami memang sangat mengerikan, namun semua mimpi itu benar-benar berhasil membuatku menjadi Fabian yang baru; yaitu Fabian yang mampu melihat seseorang dari kebeningan hatinya, Fabian yang mampu memahami kasih sayang dan ketulusan Diandra sebagai sesuatu yang tak mungkin tergantikan oleh semilyar cinta semu, Fabian yang mampu menghargai seorang sahabat sejati….

***

Pagi itu, Diandra tampak cantik. Secantik yang kulihat dalam mimpiku. Diandra memakai baju dengan potongan sederhana namun rapi. Warna baju hijau tua membuat kulitnya yang putih kekuningan semakin bersinar. Diandra tampak keheranan dengan kedatanganku yang sangat tiba-tiba. Namun Diandra tetap menyambutku dengan sangat ramah. Dia kemudian bertanya dengan lembut,

“Abi? Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa Diandra. Aku hanya ingin bertemu denganmu.” jawabku.

“Bertemu denganku? Ada yang penting?” tanya Diandra semakin keheranan.

Aku tak segera menjawab. Aku hanya menatapnya lama. Melihatku terdiam, Diandra kemudian bertanya lagi,

“Ada apa Abi?”

“Maukah kau memaafkanku, Diandra?”

“Maaf untuk apa?”

“Karena aku begitu sering menyakitimu….”

Diandra terdiam mendengar perkataanku. Tetapi matanya terlihat semakin teduh. Kemudian dia tersenyum sambil berkata,

“Kau tak perlu minta maaf. Kau memang sering menyakitiku, tapi mungkin itu hanya karena aku terlalu sensitif. Sudahlah, Abi. Lupakanlah.”

“Mengapa kau selalu baik padaku?”

“Mengapa aku harus jahat padamu?” kata Diandra, balik bertanya.

“Aku sudah memperlakukanmu sedemikian buruk, tapi kau malah membalasnya dengan mendoakanku….” kataku lagi.

“Aku mendoakan semua orang, Abi. Bukan hanya untukmu….”

“Aku tahu, Diandra. Itulah keistimewaanmu yang baru kusadari. Maukah kau membimbingku terus di jalan Tuhan? Aku membutuhkannya, Diandra. Bawalah aku ke pintu emas….”

“Membimbing? Pintu emas? Abi…. Kenapa kau tiba-tiba membahas masalah seperti ini? Ada apa?”

Aku tak menjawab. Aku hanya kembali menatapnya lama. Melihat Diandra yang kebingungan, tiba-tiba kerinduan kembali menyergapku. Tiba-tiba pula aku ingin memiliki Diandra. Semua itu membuatku tiba-tiba diliputi kekuatan dan keberanian untuk berkata,

“Aku mencintaimu, Diandra…” kataku. Lalu aku mengharapkan reaksi Diandra yang kegirangan. Namun reaksi itu ternyata tak kudapatkan dari Diandra. Hanya sedikit keterkejutan yang kulihat. Sejenak, memang kulihat kilat kegembiraan pada matanya, tetapi tiba-tiba matanya menjadi sangat mendung. Lalu dia menjawab singkat,

“Terima kasih.”

“Kenapa hanya terima kasih?” tanyaku, kecewa dengan reaksinya yang dingin.

“Lalu kau harapkan aku menjawab apa?” tanya Diandra. Matanya semakin mendung.

“Kukira kau selama ini mencintaiku. Kukira kau akan senang mendengar bahwa…”

“Apa itu pantas, Abi?” kata Diandra memotong perkataanku.

“Maksudmu?”

“Apakah aku pantas untuk memiliki cinta untukmu?”

“Mengapa kau berkata seperti itu?”

“Entahlah, Abi. Aku sebenarnya tak pernah berharap apa-apa padamu. Aku memang menyayangimu, Abi. Namun kasih sayangku bukan jenis kasih sayang yang meminta balasan. Aku tak pernah peduli apakah kau mencintaiku atau membenciku. Aku menyayangimu di dalam Tuhan…. Apapun yang kau lakukan, baik atau buruk, kasih sayangku untukmu tetap sama. Jadi kau tak perlu merasa berhutang untuk membalasnya…… Kau tak perlu merasa harus mencintaiku untuk membalas semuanya. Lagipula, aku pun benar-benar tidak mengerti mengapa kau tiba-tiba datang padaku, dan dengan tiba-tiba pula menyatakan cinta. Tidakkah kau akan merasa aneh jika ada seseorang yang selama ini begitu ingin mengusirku dari kehidupannya, kemudian dia tiba-tiba datang untuk menyatakan cinta?”

“Diandra, maafkan aku. Mungkin kedengarannya memang aneh, tapi aku sekarang benar-benar mencintaimu, dan aku menyadari siapa sebenarnya yang harus kucintai dan kupertahankan…. Dan itu bukan Juli, Ranti, atau siapapun….”

“Dan apa yang menyebabkanmu berpikir seperti itu?” tanya Diandra sambil mengerutkan kening.

“Tuhanlah yang menyadarkanku.”

Diandra terdiam. Matanya masih tampak mendung dan sangsi. Lalu dia berkata pelan,

“Abi…. ada yang lebih penting yang ingin kusampaikan selain dari jawaban atas pernyataan cintamu padaku….”

“Apa?”

“Kau seharusnya tak pergi ke rumahku hari ini. Bahkan seharusnya kau tak pergi kemanapun hari ini….”

“Apa?! Apa maksudmu?”

“Sejak beberapa minggu yang lalu aku mencoba meneleponmu, Abi. Tapi tak pernah kau angkat. SMSku pun tak pernah kau balas. Dan sejak beberapa hari yang lalu teleponmu sama sekali tidak aktif. Kau benar-benar membuatku panik, Abi. Kau pun membuatku menangis dan menjerit kepada Tuhan untuk menyampaikan semua pesan yang harus kusampaikan kepadamu sebelum hari ini dengan cara apa saja…. Di satu sisi, aku sebenarnya senang dengan kedatanganmu. Tetapi di sisi lain aku tahu bahwa kau sebenarnya tak boleh datang ke sini. Tidak hari ini!”

Aku terlonjak kaget dengan perkataan Diandra. Aku tiba-tiba teringat pada mimpiku tadi malam. Sosok putih itu bercerita tentang Diandra yang berusaha memberitahuku tentang kecelakaan yang akan menimpaku…. Aku tiba-tiba diliputi rasa ketakutan. Mungkinkah mimpi itu jadi kenyataan?? Hari ini?!

“Diandra…. maafkan aku….. Aku kira…. aku… aku tak bermaksud….. aku tak ingin…. Ah…. Diandra, maafkan karena aku karena sudah begitu banyak salah sangka dengan semua sikapmu.” kataku dengan gugup.

“Sudahlah, Abi. Sekarang pulanglah. Mumpung hari masih pagi. Dan jangan pergi kemanapun sampai besok…. Dan jangan tanya alasannya. Aku tak bisa memberitahumu rincian alasannya. Tapi untuk kali ini, tolong turutilah aku…..”

“Baiklah Diandra.” kataku semakin gugup. Diandra memang tak perlu menceritakan alasannya. Aku sudah tahu semuanya dari mimpiku…. Akhirnya kuputuskan aku lebih baik cepat-cepat pulang. Aku tak mau memperpanjang masalah, yang penting aku sekarang sadar bahwa Tuhan sudah memberikan anugerah yang terbaik bagiku berupa kehadiran Diandra di sisiku…. Hari ini aku akan pulang ke rumah dan berdiam di rumah seperti yang Diandra perintahkan. Setelah semua batas waktu itu terlewati, aku akan kembali pada Diandra. Aku tak akan melepaskan kasih sayang sejati seperti yang dimiliki oleh Diandra…. Tak akan kulepaskan sampai kapanpun…..

Aku pun kemudian berpamitan. Di saat berpamitan itulah, Diandra kemudian mengatakan hal yang membuatku ternganga namun tak berani kujawab lagi,

“Abi, lain kali janganlah menjadi kupu-kupu karena aku tak kan mengerti bahasamu…..” kata Diandra….

[1] Dalam mitos Yunani Kuno, orang yang meninggal jiwanya akan berubah wujud menjadi kupu-kupu.

3 Responses to “AKU DAN DIANDRA”

  1. Very nice story 😉 , sudah saya filekan 🙂

    Like

  2. yanthi aditya Says:

    touch my heart

    Like

Leave a comment